Korupsi di Indonesia sudah sangat serius dengan rendahnya Indeks Persepsi
Korupsi di Indonesia. Studi ini menguji pengaruh tekanan kerja terhadap potensi
korupsi pada panitia pengada barang/jasa di Propinsi X. Disain studi ini adalah
cross sectional yang meliputi semua panitia pengadaan barang/jasa periode
pengadaan tahun 2009-2014. Sampel yang diamati berjumlah 513 individu
pengada barang/jasa. Pengumpulan data sekunder untuk mendapatkan 2
kelompok berpotensi korupsi dan tidak berpotensi korupsi. Untuk mendapatkan
model yang parsimonious dan robbus digunakan analisis multilevel regresi
logistic untuk melihat pengaruh variabel tingkat individu dan tingkat instansi
terhadap potensi korupsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panitia yang
mengalami tekanan kerja di tingkat individu mempunyai probabilitas 2,495 (POR
2,495; 95%, 0,901- 6,906). Pada model-0 nilai MORinstansi =33,79 dan pada
model-2 nilai MORinstansi =51,13, meningkat sebesar 51,6%. Interval Odds Ratio
(IOR) variabel nilai PBJ memiliki rentang yang sangat lebar 0,006 – 34184
melewati angka 1, artinya efek variasi tempat bekerja panitia PBJ sangat besar
mempengaruhi potensi korupsi. Prevalensi tekanan kerja terhadap potensi
korupsi sangat tinggi yaitu 93,4%. Setelah dikontrol oleh beberapa variabel
konfonder, pada tingkat instansi yaitu nilai PBJ ≥ 5 Milyar signifikan
mempengaruhi potensi korupsi. Dari hasil analisis epidemiologi, dapat dilakukan
upaya pencegahan potensi korupsi dalam PBJ melalui jaring penyebab dengan
metode ANNA (Alur Pengendalian Antikorupsi Pengadaan Barang/Jasa).
Generalisasi dapat dilakukan pada populasi yang mempunyai karakteristik yang
sama, prevalensi stress kerja yang sama dan jumlah angkatan kerja besar seperti
propinsi X.
Corruption in Indonesia has become a very serious problem as shown by the lowCorruption Perception Index in Indonesia. This study examines the effect ofworking pressure to the potency of corruption among procurement staff inProvince X. This cross sectional study involved all procurement committee inthe year of 2009-2014. About 513 procurement staff were recruited as studysamples. The secondary data was obtained in order to determine whether theproject, which samples were involved, was categorized as potentially havingcorruption or not. In order to acquire both parsimonious and robbust, multilevelreggression logistic analysis was used to analys the effect of each variables at thelevel of individual and agency toward corruption potency. The result shows thatworking pressure in the level of individual has a probability 2,495 times higherhaving potency of corruption (POR 2,495; 95%, 0,901- 6,906). In model-0 valueof MORagency =33,79 and in model-2 value MORagency =51,13, it improvedfor 51,6%. Interval Odds Ratio (IOR) of procurement value variable had verywide span of 0,006 - 34184 passed number 1, this means the effect of variation ofprocurement committee's working place highly affected the potency ofcorruption. The prevalens of working pressure is 93.4%. After controlled bysome of potential confounders, in contextual level (working agency), value ofprocurement more than Rp. 5 billion was significantly associated with potency ofcorruption. From the epidemiological view, potency of corruption can beprevented through ANNA method (Alur Pengendalian Antikorupsi dalamPengadaan Barang & Jasa/ Anti-Corruption Controlling Flow in procurement).The finding is generalized to other population with the similar characteristic,prevalens of working presure and number of employed population as province X