Dalam mengulas kekerasan di Maluku, penjelasan-penjelasan yang beredar di media cetak dan eletronik cenderung memfokus pada upaya pelaku-pelaku politik nasional dan regional dalam melakukan pemanipulasian dan penghasutan untuk melakukan kekerasan. Teori-teori ini, yang disebut penulisnya dengan 'instrumentalis' (instrumentalist), menyarankan bahwa kekerasan di Maluku dipandang sebagai hasil dari 'instrumen' permainan dan tipu daya politik. Motif-motif untuk menghasut atau memulai terjadinya kekerasan di Maluku dideskripsikan secara beragam sebagai megalomaniak politik atau keserakahan ekonomi. Membongkar dimensi ini, yang disebut dengan 'organisasi politik', merupakan tugas yang amat penting. Akan tetapi teori 'instrumentalis', menurut penulisnya, tidak dapat menjelaskan mengapa kekerasan di Maluku Utara dan Maluku Tengah berlanjut hingga lebih dari dua tahun, dan mengapa kekerasan berakar serta bertahan di tingkat lokal. Penjelasan itu dinilainya mempertahankan pandangan yang elitis tentang tindakan sosial, serta gagasan yang disederhanakan tentang kekuasaan. Penulis mengajukan sudut pandang yang lain, yakni suatu pendekatan 'dari bawah' yang memandang proses dikodifikasikannya konflik itu dalam narasi setempat sebagai sesuatu yang 'agamawi' (religious) setelah awal tahun 1999. Secara khusus, penulisnya memfokuspada salah satu narasi, yakni narasi 'millenarian'. Dalam narasi ini, dibayangkan terjadinya pertarungan besar-besaran (an up-coming apocalyptic battle) antara umat Kristen dan Islam sebagai tanda tibanya dunia kiamat. Penulis berargumentasi bahwa narasi itu berperanan dalam mempertahankan terjadinya kekerasan di Maluku Tengah dan Utara, karena ia membakar dan sebaliknya, diperkaya oleh nada yang konspiratif dari banyak laporan media massa tentang kekerasan. Walau didorong oleh imajinasi politik yang berbeda, penjelasan instrumentalis dan gagasan tentang 'millenarian' itu memiliki kesamaan nada bersifat konspirasi. Kedua narasi itu saling menyuburkan dan keduanya, menjadi pelaku dalam 'kerusuhan Maluku'.