Komunitas Lonthoir masa kini yang menetap di Kepulauan Banda terdiri dari penduduk dengan asal usul historis yang berbeda satu sama lain. Walau demikian, mereka mampu untuk menyatakan suatu identitas diri berdasarkan karakteristik lokal yang sangat kuat. Dalam tulisan ini penulis mengkaji suatu dimensi yang penting dari situasi tersebut. Dengan memfokus pada 'praktek sakral' ('sacred practice') di Lonthoir, penulis memperlihatkan bahwa aktivitas tersebut mewujudkan suatu tatanan moral dengan sangsi supernatural. Tatanan moral ini secara efektif melarutkan setiap perbedaan di antara gagasan-gagasan religi dan adat melalui reproduksi dari sosialitas lokal, dan suatu perasaan yang hidup mengenai 'tempat' (a lived sense of place). Penulis menyatakan bahwa istilah-istilah seperti 'sinkretisme' (syncretism) atau 'agama sinkretik' (syncretic religion) tidak bermanfaat dalam memahami proses yang kompleks ini. Lagipula, di samping menyebabkan adanya suatu visi dikotomi dari modern dan tradisional, 'sinkretisme' mengekalkan suatu gagasan murni tentang kebudayaan yang acap kali menemukan ekspresinya dalam wacana 'kesukubangsaan'. Penulis mengajukan istilah 'bricolage' sebagai suatu alternatif yang memungkinkan untuk memahamidinamika dari identifikasi lokal.