Selama ini balamut hanya dilihat sebagai tradisi untuk menghibur, menunaikan nadar dan pengobatan. Penelitian ini berupaya mengisi rumpang tersebut dengan mengkaji bahwa di balik ketiga praktik tersebut ada beragam bentuk resistensi baik yang bersifat individual maupun kolektif terhadap momentum kekuasaan yang ada dalam setiap pertunjukannya. Kemungkinan adanya praktik resistensi ini terabaikan dalam kajian terdahulu karena tradisi balamut cenderung dilihat sebagai sastra lisan dan mendekatinya seperti membaca sastra tulis atau cetak untuk mengidentifikasi makna dan nilai dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Pendekatan tersebut mengabaikan peran penting palamutan dan audiens sebagai faktor pembentuk makna. Oleh karena itu, penelitian ini mendekati tradisi balamut dengan teori dan metode yang disediakan oleh etnografi, tradisi lisan, pertunjukan, dan ritual untuk mengkaji kemungkinan adanya praktik resistensi.Resistensi yang dilakukan palamutan termasuk jenis resistensi individual nirkekerasan yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol budaya baik di ranah publik maupun domestik untuk melawan sekaligus membela tradisinya, merespons politik identitas dan mengeritik kondisi sosial kontemporer yang dihadapinya. Dinamika inilah yang membuat tradisi ini tetap bertahan.Dengan melihat tradisi balamut sebagai praktik resistensi berarti menempatkan palamutan sebagai pelaku tradisi yang memiliki kesadaran sosial dan ideologis. Ia bukan sekadar pelaku yang mentransmisikan tradisi secara pasif tetapi ikut menciptakan kembali tradisi tersebut secara aktif dan kreatif.
So far balamut oral tradition in Banjarmasin, South Kalimantan, has been seen only as a tradition to entertain, to perform nadar and treatment. This study attempts to fill these gaps by examining that behind the such three practices there are various forms of resistance to the momentum of the powers individually and collectively in every moment of its performance. The possibility of this resistance practices was overlooked in previous studies because balamut tradition tends to be seen as oral literature and approached as printed literature to identify its meaning and values by analyzing its intrinsic elements. Such approach ignores the important role of palamutan the storyteller of the tale of Lamut and audience as the determining factors of meaning. Therefore, this research approaches balamut tradition in the framework of theories and methods provided by ethnography, oral traditions, performance, and ritual practices to assess the possibility of resistance.Resistance that is conducted by palamutan the storyteller of Lamut Story is a kind of nonviolent individual resistance using cultural symbols both in the public and domestic spheres to fight as well as defend its traditions, respond to politics of identity and criticize the contemporary social conditions he faces. Such cultural dynamic makes this tradition survive.By looking at balamut tradition as a practice of resistance means to place palamutan as a social actor who has social and ideological awareness. He is not just actor who transmits his tradition passively but go on recreating the tradition actively and creatively.