ABSTRAKTesis ini membahas mengenai modernisasi dan ekonomi masyarakat nelayan, yang menempatkan ruang spasial di Kampung Gusung Distrik Ujung Tanah Kotamadya Ujung Pandang. Masa temporal yang diambil adalah antara tahun 1954 sampai 1998, dengan pertimbangan bahwa pada masa itu terjadi perkembangan ekonomi nelayan akibat adanya modernisasi. Secara umum, nelayan dipandang sebagai kelompok masyarakat yang miskin dan termarjinalkan. Dari segi ekonomi, masyarakat nelayan sebagian besar belum berorientasi pasar profil oriented yang digolongkan masih bersifat subsiten. Namun, gejala seperti ini tidak nampak pada masyarakat nelayan di Kampung Gusung, kehidupan nelayan lebih menujukkan ekonomi yang komersial. Atas kerjasama para local enterpreneurs dengan investor asal Jepang melalui perusahan perikanan PT. Sendid dan PT. Bonecom, hasil tangkapan nelayan berupa udang dan telur ikan terbang mengalami surplus, lalu sebagian besar di ekspor ke Jepang. Pada era ini, hampir semua masyarakat nelayan yang terlibat dalam usaha tersebut memiliki beberapa buah ldquo;ringgit emas rdquo; yang dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, emas dilambangkan kesuksesan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kehidupan ekonomi masyarakat nelayan Kampung Gusung. Sebelum adanya modernisasi, kehidupan nelayan telah menujukkan ekonomi yang komersial dengan wilayah pemasaran dan perdagangan ke Surabaya, Jakarta, Manado, Ambon, Lombok. Setelah adanya modernisasi, wilayah pemasaran lebih luas lagi, sampai ke Jepang. Dengan adanya etos kerja dan budaya gotong royong assiajingeng yang diaktualisasikan dalam hubungan Punggawa-Sawi menjadikan masyarakat nelayan Kampung Gusung lebih maju dibandingkan sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia.
ABSTRACTThis thesis discusses the modernization and economy of fishermen community. The spatial research area was located in Kampung Gusung Ujung Tanah District Ujung Pandang City. Temporal period taken was between 1954 to 1998, with the consideration that there was economic development of fishermen at that time due to the modernization. In general, fishermen are viewed as a poor and marginalized community. From an economic point of view, the fishermen community is largely not market oriented profit oriented yet, which is still classified as subsistence. However, this phenomenon did not appear to the fishermen community in Kampung Gusung, the fishermen rsquo s life showed more toward the commercial economy. On the cooperation of local enterpreneurs with investors from Japan through fishery companies such as PT. Sendid and PT. Bonecom, the catch of fishermen in the form of shrimp and flying fish eggs had surplus, then most of them were exported to Japan. In this era, almost all fishermen communities involved in the business had some gold ringgit , which in the Bugis Makassar society tradition, gold symbolizes success. This study provides an overview of the economic life of the fishermen of Kampung Gusung. Prior to modernization, fishermen 39 s life had shown a commercial economy with marketing and trade areas to Surabaya, Jakarta, Manado, Ambon, and Lombok. After the modernization, the marketing area was wider, reaching to Japan. The work ethic and gotong royong culture assiajingeng , which was actualized in Punggawa Sawi relationship, made the fishermen community of Kampung Gusung more advanced than most fishermen in Indonesia.