Penelitian ini membahas mengenai dilema dalam diri Pandji Poestaka, sebuah majalah budaya terbitan Balai Pustaka pada era kolonial, kurun waktu 1922-1935. Sebagai salah satu produk terbitan Balai Pustaka yang merupakan badan resmi pemerintah dalam menangani persoalan bacaan, Pandji Poestaka menghadapi kenyataan bahwa ia tidak bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab mendukung pemerintah, terutama saat situasi politik berkembang lebih dinamis dan kompleks pada tahun 1920-1930-an yang mana mulai banyak ancaman yang datang dari luar pemerintah kolonial. Hal tersebut membuat Pandji Poestaka dipaksa berperan untuk membela kepentingan pemerintah. Pada waktu yang sama, Pandji Poestaka mencoba tetap mempertanggung jawabkan personalitasnya sebagai majalah budaya dengan menawarkan gagasan baru tentang kebudayaan Indonesia dan elemen di dalamnya. Sebagai majalah yang lahir pada saat budaya nasional Indonesia belum sepenuhnya terbentuk, Pandji Poestaka mencoba memberikan arah dan contoh budaya dari seluruh dunia, yang mana kemudian Barat dipandang oleh Pandji Poestaka sebagai panutan terbaik bagi Indonesia. Penelitan ini memperlihatkan upaya Pandji Poestaka untuk tetap bertahan di Hindia dengan dihadapkan pada dilema antara berkontribusi menjaga kekuasaan kolonial dan konsisten menawarkan gagasan baru tentang budaya nasional Indonesia.
This research discusses the dilemma within Pandji Poestaka, a cultural magazine published by Balai Pustaka in the colonial era between 1922 to 1935. As one of the magazines published by Balai Pustaka, an official government agency established to address the issue of reading, Pandji Poestaka faced the fact that it could not simply escape from the mandate it received from the government especially when the political situations grew more dynamic and complex in the late 1920 1930 and the publication of materials seen as a threat to the government more rampant. Pandji Poestaka was forced to take the role of defending government interest. At the same time, Pandji Poestaka tried to remain true to its ideal as a cultural magazine. It saw itself to be responsible for offering new ideas about Indonesian culture and its element. As a magazine that was born at a time when Indonesia rsquo s national culture was not fully formed, Pandji Poestaka was looking for directions and examples from around the world, The West however was seen by Pandji Poestaka as the great model for Indonesia. This study shows the efforts made by this magazine to survive in the Indies while facing dilemma between contributing to maintaining the colonial power and consistently offering new ideas about Indonesian culture.