ABSTRACTTanah merupakan salah satu sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Pemerintah menerapkan pembatasan terhadap kepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badan hukum memiliki hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang dinyatakan oleh peraturan pemerintah. Dalam transaksi yang terkait dengan pertanahan, tidak jarang dijumpai badan hukum yang tidak ditunjuk Pemerintah yang mengupayakan agar dapat memperoleh tanah dengan status hak milik dengan mekanisme perjanjian pinjam nama nominee . Penelitian ini bersifat deskriptis analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Pada kasus yang dibahas, kedua putusan menyatakan bahwa pemilik sesungguhnya dari tanah dan bangunan adalah pihak penggugat yang merupakan badan hukum berbentuk Perseoan Terbatas dan atau Yayasan. Dalam putusan, diketahui Majelis Hakim tidak mempertimbangan perjanjian nominee yang dibuat penggugat dengan tergugat sebagai upaya penyelundupan hukum tetapi menjadikannya dasar bahwa tanah dan bangunan sebenarnya adalah milik penggugat. Padahal perjanjian nominee tersebut apabila diuraikan berdasarkan syarat-syarat sah suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat ldquo;suatu sebab yang halal rdquo;. Hal ini karena perjanjian nominee tersebut melanggar Pasal 21 ayat 2 jo Pasal 1 ayat 1 PP No 38 Tahun 1963 dan Pasal 26 ayat 2 UUPA. Sehingga seharusnya perjanjian nominee tersebut menjadi batal demi hukum karena melanggar hukum. Akan tetapi, didalam kedua putusan Majelis Hakim mengakui keabsahan perjanjian nominee tersebut. Oleh karena itu, putusan ini merupakan suatu penemuan hukum dimana Majelis Hakim mengakui keabsahan perjanjian nominee yang dibuat oleh badan hukum.
ABSTRACTLand is one of the natural resources which the state controls with the aim of realize prosperity and prosperity for all people. The government imposed restrictions on the ownership of land in Indonesia. The government banned legal entities to have rights upon land, except for those entitled by the government regulation. In transactions related to lands, it is not a rare sight to see legal entities which are not appointed by the government seeking to acquire the status of land ownership with the mechanism of Declaration of Trust Nominee Agreement . This research is descriptive analytical with a normative juridical approach based on secondary data obtained from the literature research and primary data. In the discussed cases, both verdicts stated that the true owner of the land and buildings were the plaintiffs which are legal entities in the form of a Limited Company or Foundation. In the verdict, the judges did not take into consideration the nominee agreement which was in fact created by the plaintiff and defendant as an attempt of penyelundupan hukum, but made it as the basis that the land and buildings are actually owned by the plaintiff. Whereas if the nominee agreement is broken down into the terms outlined by the agreement principles, then the said agreement does not qualify a cause that is halal . This is because the nominee agreement violates Article 21 paragraph 2 in conjunction with Article 1 1 of Government Regulation No. 38 of 1963 and Article 26 paragraph 2 of UUPA Basic Agrarian Law Act . So that the nominee agreement should become null and void because it clearly violates the law. However, in both verdicts the judges recognized the validity of the nominee agreement. Therefore, this decision is a legal discovery where the judges recognize the validity of a nominee agreement made by a legal entity.