ABSTRAKKehilangan kekuasaan politik sejak tahun 1950, Keraton Kasunanan Surakarta
menjalani masa survival untuk mempertahankan eksistensi kerajaan yang dibangun pada
tahim 1745 ini. Setengah abad kemudian tampak bahwa usaha keraton mulai menuai
basil. Tradisi-tradisi yang semula hilang bangkit kembali, dan upacara-upacara ad at Jawa
semakin marak dijalankan baik di dalam maupun di luar keraton. Gelar kebangsawanan
dikejar oleh berbagai kalangan pada skala nasional; dari orang biasa, usahawan, sampai
pejabat tinggi pemerintah.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa keberadaan Keraton Kasunanan dapat
dipertahankan karena peran sentral Raja Paku Buwono XII dalam melestarikan tradisi dan
memelihara ritual keraton. Dari sudut pandang antropologi politik, upaya sang raja ini
dapat diartikan sebagai bentuk strategi peneguhan kekuasaan melalui pemeliharaan
dukungan, legitimasi, dan otoritas. Pemeliharaan tradisi dan ritual yang sarat dengan
makna simbolik (bila perlu menciptakan tradisi baru yang tampak seolah tradisi kimo)
berperan besar dalam meneguhkan legitimasi kekuasaan. Di samping itu, keraton juga
menggimakan basis sakral sebagai strategi politik. Konsep keraton sebagai jelmaan alam
semesta {imago mundi) dan raja sebagai pusat alam semesta {axis mundi) dipakai sebagai
alat untuk meneguhkan eksistensi kerajaan yang sesungguhnya tidak lagi memiliki
kekuasaan politik.
Dari sudut pandang antropologi perkotaan, strategi survival berbuah pada bentukbentuk
kompromi penggunaan ruang dan tata ruang keraton berumur 250 tahun ini. Di
sini dapat dilacak pola perubahan dan konstansi tata ruang, yang menyangkut elemenelemen
tetap, setengah-tetap, dan tidak tetap.
Di balik kisah kebangkitan keraton yang tampak fenomenal ini, jika ditempatkan
pada skala yang lebih luas (skala kota Surakarta atau negara Indonesia), geliat Keraton
Kasunanan masa kini masih terlihat bagaikan "negara teater" yang mengandalkan
suguhan tradisi sebagai menu utamanya. Semangat mendukung keberadaan keraton
nampaknya masih merupakan minat individual.
ABSTRACTLosing its political power in 1950, Keraton Kasunanan Surakarta has endured a
survival period in preserving the existence of this kingdom that was established in 1745.
Half a century later, seems that the kingdom has gained a considerable success.
Vanishing traditions have restored, while the practice of old Javanese rituals have
blossoming both inside and outside the kingdom wall. Nobility titles have been demanded
by broad range of people in nation-wide; from ordinary people, businessmen, until highrank
government officers.
The research reveals that the existence of Keraton Kasunanan has survived because
of the central role of King Paku Buwono XII in preserving traditions and maintaining
keraton's rituals. From the viewpoint of political anthropology, all the king's efforts can
be meant as strategy of strengthening the power by maintaining supports, legitimacy, and
authority. Maintenance of traditions and rituals, which full of symbolic meanings (and if
necessary, inventing new tradition that looks like ancient tradition), takes an important
role in building up power legitimacy. The kingdom has also made use of sacred base as
political strategy. The idea that puts the palace complex as representation of the universe
(imago mundi), and the king as center of the universe (axis mundi) has been used as a
tool to strengthen the existence of the kingdom that in fact has no more political power.
From the viewpoint of urban anthropology, the strategy of survival has resulted in
the compromise in the use of space and the spatial order of this 250-year old kingdom.
Here can be traced the change and constancy of urban order, which cover the fixed-feature,
semifixed-feature and nonfixed- feature elements.
Behind the revival story of the kingdom that looks phenomenal, ifplaced in larger
scale (city-wide Solo, or country-wide Indonesia), the struggle of Keraton Kasunanan
today appears no more than a "theater state " that relies on performing tradition as its
main menu. The spirit of supporting kingdom's existence seems to be individual interests.