Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat untuk menyusun suatu perangkat pengaturan hukum yang baru tentang segala aspek penggunaan laut serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hasi1 dari usaha-usaha tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian antar negara yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut 1982.
Selain menggambarkan usaha dari masyarakat internasional untuk mengkod1fikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut yang telah ada, dan menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum internas1onal, Konvensi ini juga menggambarkan usaha pembentukan perangkat ketentuanketentuan, prinsip-prinsip, dan lembaga-lembaga hukum laut yang baru.
Dengan selesainya perumusan Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Indonesia di forum internasional telah sampai kepada tingkat kemantapan kedudukan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Hal ini berarti bahwa negara kepulauan yang telah diproklamirkan oleh Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 tersebut telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai bagian dari hukum internasional yang baru.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia telah menyatakan dirinya terikat oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut. Oleh karena itu langkah selanjutnya bagi Indonesia adalah melaksanakan dan menuangkannya kedalam peraturan perundang-undangan nasional.
Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing pada perairan yang berada dibawah yuirisdiksi suatu nagaira. Yang paling kontirovers ial dan sensitif dairi masalah ini adalah mengenal hak lintas bagi kapal-kapal perang. Dewasa ini sebagai akibat perluasan laut teritorial banyak selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas, kini menjadi bagian dari laut teritorial bahkan laut pedalaman suatu negara.
Perubahan status wilayah perairan yang selama ini merupakan bagian dari laut lepas menjadi perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional suatu negara, telah menimbulkan permasalahan baru tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing, khususnya kapal-kapal perang, seperti : apakah diperlukan izin dari negara pantai terlebih dahulu ? Atau apakah negara pantai dapat menetapkan persyaratan hanya untuk memberitahukan terlebih dahulu sebelum kapal-kapal perang berlayar melalui selat yang terletak pada laut teritorialnya ? Atau, apakah persyaratan-persyaratan tadi tidak diperlukan sama sekali.
Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional selama ini sangat menguntungkan baik bagi armada kapal-kapal niaga maupun armada kapal-kapal perang, karena sangat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, bagi negara-negara yang berbatasan dengan selat-selat demikian (disebut negara tepi atau negara pantai), suatu pelayaran bebas pada jalur laut yang sebagian besar sempit dan ramai, akan menjadi masalah terutama di bidang keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan pertahanan-keamanan. Keadaan demikian mengakibatkan negara-negara pantai menghendaki pengaturan yang lebih ketat terhadap pelayaran melalui selat maupun lintas penerbangan di atasnya.
Di lain pihak negara-negara maritim besar dengan Repentingan-kepentingan militernya, secara global ingin menerapkan rejim pelayaran yang bebas bagi kapal-kapal perang (termasuk j uga kapal selam) serta pesawat-pe.sawat udara militer mereka melalui selat-selat yang dianggap sangat strategis bagi Repentingan-kepentingannya.
Di dalam hukum laut selama ini, masalah ini belum mendapatkan pengaturannya secara pasti. Baik Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, maupun Konvensi Hukum Laut 1982 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, dan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.
Masalah hak 1intas bagi kapal asing melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional ini sangat penting bagi Indonesia. Pentingnya perairan Indonesia bagi pelayaran internasional telah dibuktikan dengan kenyataan bahwa lalu 1intas pelayaran di kawasan ini (Asia Tenggara, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) akan melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
Meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal perang dari negara-negara adidaya beserta sekutu-sekutunya, menumbuhkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya adu kekuatan dan konfrontasi di laut terutama pada perairan yang mrupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Pada perairan Indonesia diketahui ada kurang lebih enam buah selat yang selama ini banyak digunakan untuk pelayaran Internasional, yaitu Selat Malaka. Selat Singapura, Selat Lombok, Selat Ombal-Wetar dan Selat Makasar. Yang paling penting di antaranya adalah Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain penting bagi strategi militer, Selat Malaka-Singapura juga mempunyai arti ekonomis yang sangat tinggi baik bagi negara-negara tepinya maupun bagi negaranegara pemakai alur pelayaran ini.
Dewasa ini hak 1intas bagi kapal-kapal asing telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, sedangkan hukum laut internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Konvensi Jenewa tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan 1958 merumuskan pengaturan tentang masalah ini ke dalam ketentuan-ketentuan tentang 1intas damai melalui laut teritorial. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat 4 hak 1intas damai melalui selat demikian tidak dapat ditangguhkan.
Dari Rancangan Pasal-Pasal yang diajukan ke muka sidang UN Sea-bed Comm i ttee maupun Konperensi Hukum Laut III terlihat bahwa negara-negara maritim maju menghendaki hak 1in tas bebas baik bagi pelayaran maupun penerbangan melalui selat. Dalam pada itu negara-negara selat menghendaki rejim yang berlaku adalah rejim 1intas damai tanpa adanya penangguhan (non suspension') dan tidak disertai dengan hak 1intas penerbangan.
Perdebatan tentang masalah ini pada Konperensi Hukum Laut III berkisar pada posisi yang berbeda antara negaranegara maritim besar dan negara-negara pantai. Di satu fihak, negara-negara maritim besar menghendaki adanya keseimbangan kekuatan (.balance of power) dalam bentuk perlindungan terhadap kepentingan militer dan politik masingmasing negara yang saling bersaing. Di lain fihak, negaranegara tepi selat, yang sebagian besar merupakan negaranegara yang sedanng berkembang, menghendaki ditegakkannya kedaulatan negara pantai atas selat serta berusaha menghindari adanya ancaman-ancaman militer maupun politik.
Di dalam perkembangannya kemudian jarak antara posisi negara-negara kepulauan dan negara-negara maritim besar ini semakin mendekat dengan adanya perubahan sikap dari kedua belah pihak. Pada akhirnya Konvensl Hukum Laut 1982 mengandung tiga macam jenis hak lintas bagi kapal asing# yaitu :
(1) hak lintas damai;
(2) hak lintas transit; dan
(3) hak lintas alur laut kepulauan.
Dewasa ini di Indonesia pengaturan tentang hak lintas kapal asing melalui perairan Indeonesia diatur dalam UU No. 4/Prp. tahun 1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 yang memuat jaminan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di Perairan Indones ia.
Menurut Memori Penjelasan terhadap UU No. 4/Prp. tahun 1960, di perairan pedalaman (dalam pengertian Konvensi yang baru, disebut perairan kepulauan) jaminan tersebut tidak diberikan dalam bentuk hak (.righf) melainkan hanya sebagai suatu kelonggaran (priveJege) saja. Hal ini berarti bahwa sebagai negara pantai Indonesia daoat mencabut kembali kelonggaran-kelonggaran yang diberikan ini.
Kapal-kapal perang dapat berlayar melalui alur-alur laut yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Di luar alur-alur laut tersebut, hak lintas damai oleh kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah bukan kapal niaga asing, memerlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menetapkan alur-alur laut demikian. Khusus bagi kapal-kapal selam asing yang berlayar melalui perairan Indone_sia diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air.