Leasing adalah merupakan suatu kata atau peristilahan baru dari bahasa asing yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia, yang padanannya sampai sekarang dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak ada atau belum ada yang dirasakan cocok untuk menggantikannya. lstilah Leasing ini sangat menarik oleh karena istilah tersebut dapat bertahan tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal usul adanya lembaga leasing ini, maupun di negara-negara yang telah mengenal lembaga Leasing, termasuk di Indonesia. Namun istilah Leasing ini di Indonesia sering diterjemahkan dalam istilah "Sewa Guna Usaha" atau dapat disingkat dengan "SGU".
Secara umum Leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengenai definisi Leasing itu sendiri sebenarnya ada banyak pendapat, namun dari semua pendapat-pendapat yang ada, dapat diambil suatu kesimpulan tersendiri. Kesimpulan tersebut adalah bahwa definisi-definisi Leasing yang telah ada mempunyai beberapa unsur-unsur pokok seperti : adanya dua pihak pihak yang terlibat, yaitu pihak yang menyewa barang modal (Lessee) dan yang menyewakan barang modal (Lessor), adanya penyediaan barang modal, adanya ketentuan jangka waktu tertentu, pembayaran secara berkala, adanya hak pilih (hak opsi), serta adanya nilai sisa dari barang modal tersebut.
Keuntungan pembiayaan perusahaan melalui sistem Leasing ini adalah adanya penghematan modal, sifatnya yang fleksibel, on I off balance sheet yaitu barang modal dapat ditampilkan atau tidak ditampilkan dalam neraca perusahaan, dapat menguntungkan cash flow, adanya hak opsi bagi Lessee, dapat mengurangi resiko ketinggalan teknologi, dapat sebagai pelindung terhadap kenaikan inflasi, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan fasilitas Leasing adalah relatif lebih rendah dibandingkan biaya untuk mendapatkan fasilitas kredit (dari Bank misalnya). Sedangkan kerugian dari sistem Leasing ini adalah biaya yang relatif mahal, tidak dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit dari bank, masalah prestise, dan resiko dari pihak Lessor yang cukup besar.
Penelitian yang dilakukan penulis ini dilatar belakangi oleh perkembangan bisnis yang semakin mengglobal serta tingkat persaingan yang semakin tajam diantara perusahaan-perusahaan dalam meningkatkan pangsa pasar atau tingkat return yang tinggi. Sehingga diperlukan adanya efisiensi dalam pembelian barang modal untuk mengurangi pengeluaran (biaya) pembelian barang modal. Hal tersebut dapat diatasi dengan digunakannya kontrak sewa secara Leasing untuk mengganti keputusan pembelian barang modal.
Dalam berlangsungnya suatu kontrak perjanjian SGU (Leasing) --- dengan hak opsi --- kadang kontrak tersebut dapat terputus sebelum masa SGU berakhir. Sehingga masa SGU menjadi lebih pendek dari masa yang semula disepakati. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal, yaitu force majeur, default (tidak mampu membayar}, dan sebab ekonomis. Dengan terjadinya hal-hal tersebut diatas maka akan terjadi penyesuaian dalam pembukuan pihak perusahaan yang menyewakan barang modal (Lessor). Penyesuaian atau koreksi yang dilakukan oleh pihak Lessor tersebut meliputi koreksi terhadap pengakuan penghasilan dan pembebanan biaya yang sebelumnya telah diakui.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui tahapan pengakuan penghasilan dan pembebanan biaya yang ditetapkan oleh pemerintah dan yang dilakukan oleh PT Bumiputera - BOT Lease dalam kasus Sewa Guna Usaha dengan jangka waktu yang lebih pendek dari masa yang semula disepakati; (2) mengetahui adanya perbedaan atau penyimpangan pelaksanaan antara ketentuan dari pemerintah dengan pelaksanaannya yaitu pada PT Bumiputera - BOT Lease; dan (3) mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan atau penyimpangan tersebut. Penulisan Karya Akhir ini bersifat deskriptif-analitis, dengan menggunakan tekilik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan. dan studi lapangan. Surat Keputusan Menteri Keuangan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak digunakan penulis untuk menganalisis perbedaan atau penyimpangan yang terjadi pada PT Bumiputera - BOT Lease. Juga digunakannya tabel jadwal pembayaran (payment schedule) untuk menilai konsistensinya dalam praktek.
Dalam penelitian, penulis menemukan adanya (1) ketidak konsistenan serta kesalahan dalam penetapan perhitungan oleh Lessor, yaitu dalam penggunaan tabel jadwal pembayaran (payment schedule), dan perhitungan interest income; (2) perhitungan profit I loss termination account yang tidak jelas perinciannya; dan (3) penentuan nilai sisa barang modal (repossessed asset) yang tidak sesuai dengan payment schedule.
Dapat disimpulkan dari penelitian penulis, bahwa Lessor sebenarnya sudah cukup konsisten dalam melaksanakan peraturan yang ditentukan oleh pemerintah. Namun ada beberapa perbedaan atau penyimpangan yang timbul dalam perhitungan dan pencatatan dari Lessor, dimana menyangkut jumlah perhitungan yang cukup materiil (meminjam istilah akuntansi). Untuk kasus Force Majeur ditemukan dua macam penyimpangan, yaitu profit I loss termination account yang tidak terperinci perhitungannya dan ketidak konsistenan Lessor dalam menggunakan payment schedule. Dalam kasus Default penulis menemukan tiga macam penyimpangan, yaitu perhitungan interest income yang tidak konsisten, perhitungan nilai sisa barang modal yang tidak jelas, dan penggunaan barang modal selama sebelas bulan yang tidak dibayar oleh Lessee. Sedangkan untuk kasus Ekonomis ditemukan tiga macam penyimpangan, yaitu penentuan profit yang tidak jelas perhitungannya, adanya kesalahan perhitungan interest income oleh Lessor, serta penentuan nilai sisa barang modal yang digunakan Lessor berbeda dengan yang tercantum pada payment schedule.
Oleh karena itu dalam hal masa Leasing lebih pendek dari masa yang semula disepakati, penulis dapat menyarankan (1) Lessor perlu memperhatikan prospek dari Lessee dalam kemampuannya membayar atau melunasi setiap angsurannya. Ini untuk mencegah terjadinya kasus pemutusan kontrak leasing dengan alasan default seperti diatas; (2) Perlunya mengefektifkan penggunaan surat teguran pada Lessee jika terjadi keterlambatan pembayaran, sehingga dapat mencegah terjadinya default dari Lessee, dan juga mencegah penggunaan barang modal yang cukup lama oleh Lessee; (3) Lessor juga perlu menjelaskan pemilihan perhitungan nilai sisa (residual value) dari barang modal apabila kontrak tersebut diputuskan sebelum masa kontrak leasing selesai. Karena untuk contoh kasus pemutusan Ekonomis diatas, Lessor tidak menggunakan perhitungannya, melainkan mengikuti perhitungan pihak Lessee. Sedangkan untuk contoh kasus default, perhitungan pihak asuransi yang menjadi patokan; dan ( 4) Lessor dalam melakukan koreksi haruslah dilakukan secara wajar tanpa motif untuk menghindarkan atau memperkecil besarnya penghasilan, karena hal tersebut juga akan mempengaruhi besar kecilnya pajak penghasilan yang harus disetor ke kas negara.