ABSTRAKSkripsi ini membahas konteks sosial politik film Istirahatlah Kata-Kata dari perspektif kriminologi konstitutif. Dalam kajian kriminologi konstitutif, pembuat film dan film diposisikan oleh peneliti sebagai agen konstitutif yang menawarkan wacana pengganti dalam isu penghilangan paksa aktivis periode 1997-1998. Penelitian dilakukan dengan metode Critical Discourse Analysis dengan menggunakan tiga proses analisis yang ditawarkan oleh Fairclough. Penelitian ini tidak hendak membahas film saja, melainkan hendak membahas pula konteks sosial politik yang melingkupi film tersebut serta pengaruh yang muncul karenanya. Hasil penelitian menemukan bahwa film Istirahatlah Kata-Kata sebagai medium memiliki potensi untuk menjadi salah satu alat guna menawarkan wacana pengganti dalam pembahasan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Sementara Negara menghendaki pembahasan isu pelanggaran HAM ini dilakukan secara tertutup antara pelaku dan korban saja, dalam penelitian ditemukan bahwa salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh para agen konstitutif adalah dilakukannya pembahasan atas isu ini di ranah publik hingga selesai, atau dengan kata lain, harus melalui pengadilan HAM.
ABSTRACTThis thesis discusses the social political context of the film entitled Solo, Solitude from the perspective of constitutive criminology. In constitutive criminology studies, filmmakers and the films itself are positioned by the researcher as constitutive agents that offer replacement discourses on the issue of Enforced Disappearance of Activists in the period 1997 1998. The research was conducted by Critical Discourse Analysis using three analytical processes offered by Fairclough. This research does not want to discuss only the film, but rather to discuss the social political context that surrounds the film and the effects that arise because of it. The study found that the film entitled Solo, Solitude mdash as a medium mdash has the potential to be one of the tools to offer replacement discourses in the discussion of past human rights abuses in Indonesia. While the State wants the case resolution of the issue of human rights violations to be conducted in a closed manner which is between the offenders and the victims only, in this research, it was found that one of the goals to be achieved by constitutive agents was to carry out the discussion of this issue in the public sphere to the end, or in other words, through the human rights court.