Penelitian yang berjudul Kesempatan Politik, Struktur Mobilisasi, dan Proses Pembingkaian dalam Gerakan Sosial: (Studi Kasus Gerakan Pro-Penetapan Keistimewaan Yogyakarta tahun 2010-2012), dilatarbelakangi oleh munculnya aktivitas gerakan yang terus menerus dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat Yogyakarta. Gerakan masyarakat yang dikenal dengan Gerakan Pro-Penetapan Keistimewaan Yogyakarta tersebut, lahir sebagai bentuk aksi protes atas adanya upaya reduksi keistimewaan oleh pemerintah pusat yang terjadi sejak masa Orde Baru. Kemudian berkembang pasca reformasi, dan menuntut agar Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa melalui mekanisme pemilihan umum. Gerakan tersebut terpusat pada tuntutan akan lahirnya aturan yuridis yang mengatur penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori gerakan sosial baru dengan unit analisis teori kesempatan politik, struktur mobilisasi, dan proses pembingkaian di dalam menjelaskan munculnya gerakan sosial. Penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana aktor-aktor gerakan memanfaatkan momentum politik, mengembangkan strategi dan berinteraksi dengan lingkungannya dalam membentuk pemahaman bersama sehingga mampu memobilisasi masyarakat dan melakukan gerakan sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa gerakan sosial pada kasus gerakan Pro-Penetapan Keistimewaan Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, kesempatan politik yang mampu menciptakan peluang bagi aktor-aktor gerakan untuk memanfaatkan momentum aksi. Kedua, struktur mobilisasi yang merepresentasikan struktur sosial masyarakat. Serta proses pembingkaian yang strategis. Ketiga faktor tersebut sangat mendukung terciptanya gerakan sosial. Implikasi teori pada penelitian ini menggambarkan secara parsial adanya anomali pada teori-teori gerakan sosial baru.
This research discusses the social movement to demand the appointment of the Sultan of Yogyakarta as the governor through the enactment of the law on Special Autonomy of Yogyakarta Province, without a free and fair election like in any other regions in Indonesia. The movement has its roots in history since the New Order, where there were protests and demonstrations among the public over the uniformization of local government system, including in the mode of election. After reformasi 1998, there were demands for Sultan Hamengku Buwono and Paku Alam to be enthroned as Governor and Vice Governor of Yogyakarta Province without election. The movement focused on the demands for the introduction of juridical rules governing the appointment of Sultan Hamengku Buwono and Paku Alam as Governor and Vice Governor of Yogyakarta. This research uses the new social movement theory, explaining the three factors of the movement, i.e. political opportunity, mobilization structure, and framing process. It explains how political opportunities and mobilization structures are formed, and how social movement actors develop strategies and interact with their environment in building a common understanding in order to prepare society and engage in social movements. The research method used is a qualitative method with case study approach. The findings of the research indicate that the social movement in the case of Pro-Penetapan Keistimewaan Yogyakarta movement is highly influenced by three factors. First, a political opportunity that creates opportunities for movement actors to take advantage of the momentum of the action. Second, the mobilization structure that represents the social structure of society. Third, the strategic framing process. These three factors strongly support the creation of social movements. The theoretical implications of this study illustrate partially anomalies in new social movement theories.