ABSTRAKKonflik tata ruang di wilayah perkotaan mdash;yang bisa berujung pada konflik lahan mdash;tidak hanya melibatkan antar masyarakat saja, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah. Pada praktiknya, pemerintah seringkali menggunakan penggusuran paksa sebagai strategi untuk menertibkan lahan-lahan ilegal mdash;seperti tempat berjualan informal dan pemukiman kumuh mdash;agar peruntukannya sesuai dengan rencana tata kota. Melihat hal ini, terdapat dua pola yang terlihat pada studi-studi yang membahas penggusuran paksa. Pertama, pemerintah dan rulling group yang ada melihat bahwa pemanfaatan ruang kota harus secara legal dengan mengikuti rencana tata kota. Kedua, masyarakat miskin kota melihat bahwa ruang kota merupakan tempat yang dapat dan boleh dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat. Kedua pandangan yang saling berlawanan ini tidak pernah menemui titik temu yang solutif, oleh karenanya penulis berargumen bahwa dibutuhkan suatu lembaga mediasi untuk menjembatani kepentingan di antara keduanya agar tidak timpang. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam, peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana konflik lahan yang berujung penggusuran paksa ini terjadi antara masyarakat miskin kota dengan pemerintah daerah. Selain itu, artikel ini juga ingin melihat lebih jauh peran LSM dalam kasus penggusuran paksa. Temuan dari artikel ini menunjukan bahwa LSM memiliki peranan penting tidak hanya sebagai mediator, tetapi juga sebagai pembangun kesadaran ruang masyarakat dalam konflik ruang yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat.
ABSTRACTSpatial conflict in urban areas which can lead to land conflicts involves not only inter community groups but also between communities and governments. In practice, governments often use forced evictions as a strategy to discipline illegal lands such as informal selling places and slums so that their designations are in accordance with urban planning. Looking at this, there are two patterns seen in studies that deal with forced evictions. First, the government and the existing rulling group see that the utilization of urban space must legally follow the city planning plan. Secondly, the urban poor see that city space is a place that can and can be utilized by all elements of society. These two opposing views have never met a solvent point of view, and therefore the authors argue that a mediating body is required to bridge the interests between the two in order not to be unbalanced. Using a qualitative approach with an in depth interview method, researchers wanted to see further how land conflicts that led to forced evictions occurred between the urban poor and local governments. In addition, this article also wants to see further the role of NGOs in cases of forced evictions. The findings of this article show that NGOs play an important role not only as mediators, but also as builders of spatial awareness in spatial conflict between government and society.