Kehidupan yang bahagia tidak muncul sendiri di dalam kehidupan kita. Kebahagiaan harus diusahakan secara bersengaja. Dan kebahagiaan ini tidak pula hanya menjadi urusan diri seseorang, melainkan adalah urusan masyarakat dan pemerintah. Tulisan ini membangkitkan kesadaran pembaca untuk menemukan kehidupan yang bahagia. Pendapat filsuf kuno Aristoteles mengatakan bahwa sesungguhnya kebahagiaan (eudaimonia) itu bukanlah suatu keadaan atau kondisi seseorang (not a state or condition of) atau kehidupan seseorang, atau suatu pemilikan atau kombinasi dari pemilikan, melainkan adalah aktivitas --- sesungguhnya, aktivitas untuk hidup baik dan senang. Pakar psikologi modern Martin Seligman menteorikan filosofi itu, dan mendirikan Teori Kebahagiaan Sejati yang pada pokoknya mengatakan bahwa kebahagiaan sejati itu bersifat bertahan lama dan diperoleh dari usaha yang keluar dari tindakan-tindakan moral (karakter) yang baik. Selanjutnya Seligman mengenali tiga refleksi kebahagiaan: pleasant life, good life, dan meaningful life. Dengan azas emosi positif --- yang merupakan paradigma kebahagiaan --- seseorang dapat mensikapi hidupnya dan menemukan ketiga bentuk kebahagiaan. Di tingkat publik, pemerintah harus berusaha membahagiakan warganya dengan cara menghadirkan "a minimum threshold" faktor-faktor lingkungan fisik, psikologis, dan sosial, yang dapat mempotensikan masyarakat menyikapi situasi dan lingkungannya dengan positif. Ada beberapa negara yang telah mempraktekkan usaha secara sadar mencari kebahagiaan seperti Bhutan, India, Venezuela, dan Uni Emirat-emirat Arab. Kesuksesan usaha mereka berbeda satu-sama lain. India dan Venezuela menyorot usaha-usaha pemenuhan kebutuhan mendasar (poverty alleviation) di negerinya, sedangkan UEA lebih menyorot usaha "soul development". Berdasarkan Teori Kebahagiaan Sejati Seligman, idealnya negara-negara harus menjaga keserasian kombinasi antara physical economic development dengan soul development.