ABSTRAKBudaya mengunyah sirih sering dikaitkan dengan migrasi penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Nusantara pada masa prasejarah. Budaya ini yang berlanjut hingga masa-masa kemudian menjadi tradisi hampir semua suku-suku di Nusantara, termasung Mandailing-Angkola di Sumatera Utara. Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui fungsi atau arti penting sirih dan kerbau pada upacara adat di Angkola - Mandailing, serta mengetahuo makna yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan kajian etnografi serta diterapkan Teori Interaksi Simbolik. Sirih juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari (tradisi makan sirih atau sebagai obat), dan juga penting dalam kegiatan adat (horja) seperti horja siriaon (upacara adat suka cita-kelahiran anak, memasuki rumah baru, perkawinan). Apabila yang dilaksanakan adalah upacara adat besar (horja godang) maka hewan yang disembelih wajib kerbau. Horja godang merupakan kegiatan adat yang ditandai dengan kegiatan makkobar, margondang, manotor, dan menyembelih kerbau. Di dalam kaitannya dengan Teori Interaksi Simbolik, sirih dan kerbau merupakan bentuk komunikasi nonverbal sebagai simbol undangan dan penyelenggaraan kegiatan adat. Di sisi lain sebagai bentuk komunikasi verbal melalui perkataan dalam hata adat yang terucap dalam makkobar pada suatu horja godang.