RINGKASAN EKSEKUTIFPerubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan perbankan di Indonesia, telah
menempatkan usaha di sektor perbankan sebagai suatu usaha yang highly regulated dan beresiko tinggi. Berbagai deregulasi yang terjadi seperti pada Juni 1983, Oktober 1988, Mei 1993 dan berbagai deregulasi lanjutannya serta kemungkinan adanya intervensi oleh otoritas moneter, menyebabkan pengelola perbankan harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut Hal ini sangat disadari terutama dalam rangka mendapatkan net interest income (Nil) yang diharapkan. Karena besamya Nll sangat bergantung pada struktur neraca maupun tingkat bunga, maka pengelqla perbankan menggunakan pendekatan asset liability management (ALM) dalam pengelolaan keuangannya. ALM merupakan suatu pendekatan terpadu atas kedua sisi neraca untuk mencapai target retur yang diharapkan, dalam batasan-batasan resiko yang telah ditentukan. Dalam perbankan, ALM dilakSanakan oleh suatu lembaga yang bernama asset liability committee (ALCO). Karena merupakan sebuah komite, untlik pelaksanaan tugas sehari-hari ALCO dibantu oleh staff supporting group-ALCO (SSG-ALCO)
Dalam kaitannya dengan ALM, pennasalahan yang ditangani SSG-ALCO PT Bank
Persero dapat diKelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, adanya hambatan internal berupa coriflict of interest dalam gapping strategy. Kedua, metode perhitungan biaya dana yang digunakan sebagai penentuan base lending rate tidak menjamin maksimisasi 1aba dan tidak mencerminkan harga pengorbanan yang sebenamya dalam meraih pendapatan. Ketiga, pemanfaatan secondary reserves sebagai swnber likuiditas yang sekaligus memberikan tambahan pendapatan, masih belum optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi tingkat bunga pasar yang tidak
berubah, upaya yang dilakukan untuk merubah tingkat bunga kredit atau deposito dalam rangka membentuk posisi GAP yang diinginkan, selalu mendapat hambatan dari pengelola sisi asset maupun pengelola sisi liabilitas. Selain itu, penggunaan metode weighted average cost of fund dalam perhitungan biaya dana lebih sesuai untuk menilai kinerja bank dimasa lalu. Sedangkan marginal cost of fund lebih sesuai untuk keperluan ekspans~ karena biaya dana untuk base lending rate mengikuti fluktuasi tingkat bunga yang berlaku. Strategi yang digunakan untuk memanfaatkan idle fund dilakukan secara pasif, yaitu menernpatkan kelebihan dana path rekening penempatan path bank (placement) dan surat-surat berharga (marketable securities) berjangka pendek dengan tujuan untuk menyangga likuiditas
minimum yang ditentukan Bank Indonesia. Hal liii terjadi karena relatif sedikitnya produkproduk treasury di Indonesia. Disampmg itu, Bank Indonesia membatasi perbankan untuk melakukan kegiatan spekulatif, misalnya untuk memiliki portfolio saham yang diperdagangkan di pasar modal.
Untuk membentuk slruktur neraca sesuai dengan yang diinginkan (gapping strategy), perubahan formula bunga antar kantor (internal transfer pricing) dapat dianggap sebagai jalan yang cukup kompromistis. Perubahan formula mi diharapkan dapat menghindari terjadinya conflict of interest diantara pengelola kedua sisi neraca Bank. Selanjutnya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan marginal cost of fund, formula weighted average cost of fund tetap dapat dipergunakan dengan sedikit modifikasi. Kesulitan dalam mengalokasikan servicing cost dapat diatasi dengan menghitung besamya
servicing cost tersebut atas dasar selisih antara biaya overhead dengan pendapatan bukan bunga. Selanjutnya, servicing cost dialokasikan sesuai dengan besarnya komposisi rupiah dan valuta asing yang dapat dihimpun Bank. Dengan cara i, maka biaya bunga dapat ditekan melalui peningkatan kegiatan yang menghasilkan fee based income. Akhimya, untuk mengoptimalkan kelebihan dana path secondary reserves, Bank dapat beipartisipasi di pasar modal secara tidak langsung. Partisipasi tersebut dilakukan melalui perusahaan
reksadana, dengan cara memanfaatkan core of excess fund yang dimiliki Bank untuk membeli sekuritas reksadana yang memiliki portfolio obligasi. Pendekatan ini lebih diarahkan untuk memperoleh pendapatan daripada sebagai sumber dana yang menopang likuiditas minimum. Dengan cara im, Bank diharapkan memperoleh return yang relative lebih tinggi dengan resiko yang relatif lebih rendah, disamping tetap dapat menyangga likuiditas minimum.