ABSTRACTTidak semua pelaku ibadah hidup dan bertinggal di lingkungan dengan kualitas dan kuantitas ruang dalam batas kewajaran. Melihat bahwa ruang tinggal sering kali tidak memiliki ukuran standar, maka ia bisa jadi besar, sedang ataupun kecil. Skripsi ini membahas secara spesifik mengenaik ruang ibadah pada permukiman padat informal atau kampung di Jakarta, dimana penghuninya tinggal dengan okupansi ruang di bawah standar Standar ruang tinggal Nasional Indonesia: 9m2/orang. Kondisi yang demikian membuat aktivitas para penghuni kampung harus bertumpuk satu sama lain, dan aktivitas ibadah termasuk di dalamnya. Untuk memahami penggunaan ruang ibadah di kampung, pengamatan dilakukan dengan melihat bagaimana pelaku ibadah di kampung menyematkan kualitas sakral pada kegiatan ibadah mereka. Selain ikut berpartisipasi dalam kegiatan ibadah di kampung, pengamatan juga dilakukan dengan survey kuesioner dan wawancara pada beberapa warga kampung, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kelangsungan kegiatan ibadah. Untuk masa mendatang, saya berharap kajian ini dapat dikembangkan dan dilengkapi mengingat kurangnya waktu pengamatan dan waktu kegiatan ibadah yang tidak menentu.
ABSTRACTNot all worshippers live in similar qualities and quantities of space. This paper discusses specifically the space of worship in informal, densely populated settlements in Jakarta known as kampongs, in which citizens occupy the space below standard Indonesian national standard of living space 9m2 person. Such circumstances mean that almost every daily activity undertaken by kampong inhabitants overlaps, and worship activity is no exception. To understand the site, space, and place of worship usage in kampong areas, this research aims to understand how the inhabitants create and embed sacredness, or lsquo spiritual rsquo indicators, into their worship activities. In addition to deep observation by actively participating in the kampong rsquo s worship activity, this research completed by a questionnaire survey and in depth interviews with various people living in the kampong, both directly and indirectly related to worship activity. The research found that the limitation of space does not hinder the kampong inhabitants in carrying out their worship activities. Even though mostly always overlapping with other activities, worshippers always find a way to negotiate their worship activities in such limitations.