ABSTRACTPenelitian ini menjelaskan tentang pembagian kekuasaan power-sharing sebagai upaya resolusi konflik untuk mengatasi konflik Pemilu Presiden Afghanistan tahun 2014. Berawal dari permasalahan bahwa Pemilu Presiden Afghanistan tahun 2014 berpotensi mendorong pada adanya konflik kekerasan setelah Independent Election Commission IEC mengumumkan perolehan suara awal putaran kedua yang menunjukkan kemenangan Ashraf Ghani mdash;kandidat beretnis Pashtun mdash;atas Abdullah Abdullah kandidat beretnis Tajik. Dari sini, muncul berbagai ancaman kekerasan dan ancaman pembentukan pemerintahan tandingan. Mengatasi hal ini pembagian kekuasaan power-sharing digunakan sebagai upaya resolusi konflik yang tidak menciptakan kondisi winner-takes-all. Abdullah Abdullah sebagai pihak yang kalah diberikan posisi jabatan baru bernama Chief Executive Officer CEO yang nantinya akan berkerja dengan Presiden, membagi kekuasaan di dalam National Unity Government NUG. Dengan menggunakan teori Power-sharing Model Konsosiasional milik Arend Lijphart, penelitian ini menemukan bahwa kesepakatan power-sharing yang diformalkan pada Perjanjian tanggal 21 September 2014 ini sudah merefleksikan tiga komponen power-sharing berupa pembentukan koalisi besar, pemberian otonomi kepada masing-masing pihak berkonflik, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengalokasian pejabat pemerintah. Namun, penulis menemukan bahwa ketiga komponen ini belum terimplementasi sepenuhnya. Karenanya, power-sharing hanya menciptakan kondisi pada perdamaian negatif berhasil meredam konflik kekerasan; namun tidak menghilangkan ketidakadilan di dalam pemerintahan yang terbentuk.
ABSTRACTThis research explains about power sharing as an effort of conflict resolution to resolve Afghanistan Presidential Election conflict in 2014. Starting from the issue that the Afghanistan Presidential Election 2014 has the potential to push for violent conflict after the Independent Election Commission IEC announced the initial vote of the second round which shows the victory of Ashraf Ghani a Pashtun candidate, over Abdullah Abdullah a Tajik ethnic candidate. From here, various threats of violence and the threat of forming a parallel government occurred. Overcoming this, power sharing is used as a conflict resolution effort that does not create winner takes all condition. Abdullah Abdullah as a losing party was given a new position named Chief Executive Officer CEO who will later work with the President, to share power within the National Unity Government NUG. By using Arend Lijphart 39 s Consociational Model of Power sharing theory, this study finds that the power sharing agreement formalized on September 21st 2014 reflects three components of power sharing such as the formation of a grand coalition, both autonomy to each conflicting party, and applying the principle of proportionality in the allocation of government officials. However, the author finds that these three components are not fully implemented yet. Thus, power sharing only creates a negative peace condition succeed in suppressing violent conflict yet it does not eliminate injustice within the established government.