ABSTRACTPenyalahgunaan kekuasaan negara pada beberapa rezim pemerintahan melalui aparat-aparatnya menghasilkan beberapa bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Terlebih lagi, pengabaian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM juga dilakukan oleh negara. Hal ini mengakibatkan munculnya reaksi sosial non-formal berupa gerakan sosial yang yang dikenal dengan ldquo;Aksi Kamisan rdquo; atau ldquo;Aksi Payung Hitam. rdquo; Gerakan ini muncul untuk menuntut dan mendorong negara menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Dalam hal ini, penelitian berfokus pada penyelesaian tiga kasus secara hukum, yaitu Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2. Pada dasarnya, gerakan ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran, mencari keadilan dan menolak lupa atas berbagai pelanggaran berat HAM masa lalu dan kekerasan yang terjadi secara terus-menerus. Berbagai upaya yang dilakukan korban/keluarga korban untuk mencari keadilan didampingi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS dalam melakukan advokasi. Dengan menggunakan metode penelitian in-depth interview yang melibatkan beberapa stakeholder, peneliti berusaha untuk menjelaskan mengapa hingga 11 tahun umur Aksi Kamisan masih belum dapat mencapai keberhasilan. Dilihat dari beberapa indikator perubahan reformasi hukum, penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakberhasilan upaya advokasi oleh Aksi Kamisan menandakan ketidakefektifan reformasi hukum yang berdampak kepada ketidakefektifan gerakan sosial.
ABSTRACTAbuse of powers in some government regimes through its apparatus produced some form of crime against humanity. As a further matter, the state also neglected the settlement of gross human rights violation cases, resulting an informal social reaction in the form of social movement known as ldquo Aksi Kamisan rdquo or ldquo Aksi Payung Hitam. rdquo This movement insists and urges the state to solve gross human right violation cases of the past. This study focuses on the settlement of three legal cases, namely Trisakti, Semanggi 1, and Semanggi 2. In principle, Aksi Kamisan aims to reveal the truth, seek justice, and refuse to forget the gross human rights violations and perpetual violence that happened in the past. Various efforts have been made by victims families of victims accompanied by several NGOs, including KontraS, to seek justice, for example doing advocacy in several institution. Using an in depth interview method involving several stakeholders, researcher attempts to explain why Aksi Kamisan which has been running for 11 years met with no success. Based on some indicators of legal reform, this study shows that unsuccessful advocacy by Aksi Kamisan indicates the ineffectiveness of legal reforms that lead to the ineffectiveness of social movements.