ABSTRACTSkripsi ini membahas mengenai orang yang diperdaya menjadi kurir narkotika. Tolok ukur dalam menentukan orang tersebut merupakan korban atau pelaku tindak pidana adalah UU No. 21 Tahun 2007, dan UU No. 35 Tahun 2009. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, yang didasarkan pada data sekunder. Data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Tulisan ini memaparkan dan mengkritik peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan Indonesia yang kerap menyamakan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang diperdaya dan orang yang sengaja mengedarkan narkotika. Padahal orang yang diperdaya tersebut, berdasarkan rentetan prosesnya dapat digolongkan sebagai korban perdaganganan orang. Tulisan ini menyarankan dibedakannya pelaku pengedaran gelap narkotika yang merupakan kurir dengan yang merupakan pelaku utama, yang mana kurir dapat berupa orang yang diperdaya, dan juga orang yang sengaja.
ABSTRACTThis essay discussed the matter about human trafficking victims that being deceived to act as a drug trafficker. Act 21 of 2007 and Act 35 of 2009 being used as the measurement whether someone is the criminal or the victim of a crime. This essay uses descriptive method, with qualitative approach, which based on secondary data. The secondary data take form in primary, secondary, and tertiary legal material. This essay explained and criticize the regulation and court verdict that often equate the liability between deceived persons and deliberated persons who become drug trafficker. By the sequence, the deceive persons could be classified as human trafficking victims. This essay suggests that there should be a different regulation between deceived person and deliberated persons in drug trafficking.