ABSTRAKIsu etnisitas dan agama (SARA), yang muncul di media sosial Twitter, dilekatkan pada Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat selama Pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung. Perihal konten atau pesan politik, hingga mereka yang disebut sebagai influencer telah menjadi variabel-variabel penting dalam upaya penanganan isu tersebut. Pertanyaan penelitian dalam penulisan ini adalah, seperti apa bentuk konten yang dihasilkan? Bagaimana peran influencer selama kampanye berlangsung? Dengan metode kualitatif, penulis melakukan berbagai kajian literatur, seperti buku, jurnal ilmiah, data monitoring media sosial, dan pemberitaan media daring, hingga wawancara mendalam dengan sejumlah tim pemenangan Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konten atau pesan politik, serta influencer telah membentuk persona pasangan petahana sebagai sosok "bineka". Dengan key message seputar keberagaman, sosok Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat dibangun dalam citra sebagai pelayan rakyat yang bekerja untuk semua kalangan. Hal ini dibentuk dalam rangka diferensiasi dengan pasangan calon lainnya. Namun demikian, pesan politik akan keberagaman ini sendiri telat disampaikan secara eksplisit, dan baru lebih gencar ketika memasuki kampanye putaran kedua. Walaupun sejak putaran pertama telah ada upaya netralisasi terhadap isu SARA, kampanye yang dilakukan pun masih bersifat parsial. Pada akhirnya, tolak ukur keberhasilan suatu strategi kampanye dilihat dari tujuan utama kampanye tersebut dilakukan. Bila dilihat dari persebaran sentimen pada masa akhir, kampanye media sosial yang dilakukan oleh tim pemenangan dapat dikatakan berhasil. Namun demikian, hal ini tentunya tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan hasil akhir pemilu.
ABSTRACTThe ethnicity and religion issue, which appeared on Twitter, was attached to Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat during the 2017 Regional Election of DKI Jakarta underway. The content or political message, and those called as influencers had become important variables in handling the issue. The research questions in this writing are, What was the form of the contents? How was the role of influencers during the campaign? By using the qualitative method, the researcher did literature studies, to the in-depth interviews with some members of the campaign team of Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat. The result of this research shows that the content or political message and the influencer had formed the image of this candidate as the "bineka" persons. In the key message of diversity, the image of Basuki T. Purnama - Djarot S. Hidayat was built as the servant of the people that work for all circles in DKI Jakarta. It was formed in order of differentiation with the other candidate. Nevertheless, this political message of diversity was too late to be delivered explicity, and getting more intensified when the campaign was entering its second round. Although there were efforts to neutralize the ethnicity and religion issue on the first round, the campaign was done partially. In the end, the benchmark of success of a campaign strategy can be seen from the main purpose of the campaign itself. As it is seen from the sentiment deployment in the last moment, the social media campaign which was done by the winning team, could be deemed successful. But however, it can't be automatically linked to the final result of the election.