Latar Belakang: Keberhasilan suatu negara untuk berkembang dan menjadi sebuah negara yang maju tidak dapat dilepaskan dari bagaimana suatu negara tersebut mengelola perubahan kependudukannya. Angka Total Fertility Rate Indonesia tidak pernah kurang dari 2,6 anak per wanita dalam rentang tahun 2002-2012, jauh dari target yaitu 2,1 anak per wanita. DKI Jakarta sebagai ibukota negara juga berupaya mencapai target dengan meningkatkan akseptor metode kontrasepsi jangka panjang. Telah terdapat beberapa rumah sakit yang menerima pelatihan oleh Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) serta bantuan alat laparoskopi oklusi tuba oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan harapan peningkatan jumlah akseptor. Namun ternyata akseptor metode sterilisasi wanita hanya 0,8 dari total jumlah pengguna kontrasepsi modern. Belum diketahui apa penyebab dan kendala dalam pelayanan laparoskopi di Rumah Sakit di Wilayah DKI Jakarta. Untuk itu diperlukan evaluasi pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang khususnya laparoskopi oklusi tuba di DKI Jakarta.
Tujuan: Untuk mengevaluasi pelayanan sterilisasi laparoskopi oklusi tuba di rumah sakit wilayah DKI Jakarta.
Metode: Penelitian studi Kualitatif pada Rumah Sakit yang telah mendapatkan pelatihan Laparoskopi Oklusi Tuba oleh PKMI di Wilayah DKI Jakarta pada bulan September 2017-Maret 2018. Sebanyak 22 Rumah Sakit dengan pengamatan observasional, pengumpulan data, dan wawancara.
Hasil: Dari 22 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang diteliti, terdapat 8 Rumah Sakit yang melayani laparoskopi oklusi tuba. Aspek sumber daya manusia serta medikolegal menjadi elemen utama dalam mendukung pelayanan di DKI Jakarta. Rumah sakit yang telah melayani menghadapi kendala dalam hal pembiayaan operasional. Tidak dijaminnya laparoskopi oklusi tuba dalam pembiayaan BPJS Kesehatan dan belum adanya sistem pembiayaan dari Pemerintah Provinsi maupun BKKBN mengakibatkan jumlah pasien yang dilayani berkurang. Pada Rumah Sakit yang belum melayani laparoskopi oklusi tuba, ketiadaan peralatan laparoskopi merupakan faktor penghambat utama. Luaran pelayanan laparoskopi oklusi tuba cukup baik, dilihat dari singkatnya masa perawatan dan tidak adanya komplikasi selama pelayanan berlangsung.
Kesimpulan: Masalah utama dalam pelayanan laparoskopi oklusi tuba di DKI Jakarta adalah tidak adanya sistem pembiayaan operasional serta kurangnya sarana dan prasarana terutama peralatan laparoskopi. Perlu ditingkatkan komunikasi serta kerjasama dari Rumah Sakit, Pemerintah Provinsi, BKKBN, dan BPJS Kesehatan untuk mengatasi hambatan dalam operasional pelayanan laparoskopi oklusi tuba.
Background: The success of a country to grow and become developed country can not be separated from how government manage the population growth. Indonesian Total Fertility Rate has never been less than 2.6 children per woman in the period 2002-2012, far from the target of 2.1 children per woman. DKI Jakarta as the state capital also seeks to achieve the target by increasing the acceptors of long term contraception. There have been several hospitals that received training by Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) as well as allocation of laparoscopic tubal occlusion tools by National Population and Family Planning Board (BKKBN) to increase the number of acceptors. However, women sterilization method acceptor is only 0.8 of the total number of modern contraceptive users. Not yet known what are the causes and obstacles in laparoscopic tubal occlusion services in hospitals in the Region of DKI Jakarta. Therefore, it is necessary to evaluate long term contraception service, especially laparoscopic tubal occlusion in DKI Jakarta.
Objective: To evaluate the services of Laparoscopic Tubal Occlusion in hospital at DKI Jakarta.
Method: Qualitative research study at hospitals that have received Laparoscopic Tubal Occlusion training by PKMI in DKI Jakarta on September 2017 - March 2018. A total of 24 hospitals with observational observation, data collection, and interview.
Result: From 22 hospitals in DKI Jakarta studied, only 8 hospitals serving laparoscopic tubal occlusion. Human resources and medicolegal aspects become the main element in supporting services in DKI Jakarta. Hospitals that have served laparoscopy face obstacles in terms of operational financing. No BPJS coverage for laparoscopic tubal occlusion and the absence of a system of financing from the Provincial Government and BKKBN resulted in reduced number of patients served. In hospitals that have not served laparoscopic tubal occlusion, the absence of laparoscopy equipment is a major constraining factor. The outcome of laparoscopic tube occlusion services is quite good, shown by the short duration of treatment and the absence of complications after the procedure.
Conclusion: The main problem in laparoscopic tube occlusion service in DKI Jakarta is the absence of operational financing system and lack of facilities especially laparoscopic equipment. The communication and cooperation of Hospital, Provincial Government, BKKBN and BPJS should be improved to overcome obstacles in services of Laparoscopic Tubal Occlusion.