ABSTRAKStasiun adalah tempat untuk menunggu kereta yang ramai digunakan oleh orang-orang sejak zaman kolonial Belanda. Pada tanggal 21 Mei 1873 Belanda membangun sebuah stasiun yang bernama stasiun Willem I di wilayah Selatan Semarang, yaitu Ambarawa. Di dalam stasiun ini terdapat beberapa fasilitas seperti ruang tunggu penumpang, loket tiket, toilet, gerbong kereta, bentuk lantai dan letak fasilitas yang terbagi menjadi dua yaitu untuk golongan Eropa dan pribumi. Hal tersebut membuktikan adanya jejak stratifikasi sosial sebagai jurang pemisah kelas sosial masyarakat pada masa itu. Penelitian ini menggunakan teori poskolonialisme milik Bhaba dan teori relasi kekuasaan milik Max Weber, dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif. Keberadaan stasiun yang berubah menjadi museum ini merupakan bukti kekuasaan dan kemampuan Belanda membangun jalur kereta dan stasiun di jalur pegunungan yang sulit untuk dilewati oleh kereta biasa. Benda cagar budaya ini dirawat dan dilestarikan agar langgeng dan abadi.
ABSTRACTTrain station is a place for passangers to wait for the train which have been used by people since the Dutch colonial era. On May 21, 1873 the Dutch built a train station called Willem I station in south Semarang area which is Ambarawa. In this station there are several facilities such as passenger waiting rooms, ticket counters, toilets, floor tiles, the wagon from train and the location of facilities which are divided into two, namely for European and East Indies groups. This proved that there was a trace of social stratification as a gap between the social class of the community at that time. This was related to the power relations carried out by the Dutch government towards the Dutch East Indies people.This research use Bhabas postcolonialism theory and Max Webers theory of power relations, by using a qualitative approach and descriptive method.The existence of the station that turned into a museum is a testament to the power and ability of the Dutch to build railroad lines and stations on mountainous trails that were difficult for ordinary train to pass. These cultural heritage objects are preserved to stand for the time being.