Pengelolaan Pasar Tanah Abang selalu menjadi permasalahan krusial sejak masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (1997) hingga Gubernur Anies (2018), yaitu mengenai kehadiran pedagang kaki lima (PKL) dan kemacetan. Dalam 100 hari kepemimpinannya Gubernur Anies mengeluarkan kebijakan penutupan salah satu ruas jalan untuk area berjualan PKL sehingga menimbulkan pro dan kontra. Permasalahan tersebut dalam penelitian ini dikaji menggunakan model inkremental dari teori kebijakan publik dan model eksternalitas dari teori ekonomi neo-klasik.
Model inkremental merupakan suatu model yang memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seharusnya. Sedangkan, model eksternalitas adalah model yang memandang dampak (dari transaksi) terhadap pihak ketiga (yang tidak ikut transaksi) dalam suatu kesepakatan yang dibuat antara pihak pertama dan pihak kedua.
Penelitian ini hendak menjawab mengenai alasan mengapa Gubernur Anies mengeluarkan kebijakan pengelolaan Blok G Pasar Tanah Abang dengan menutup salah satu ruas Jalan Jatibaru Raya serta siapa yang menerima manfaat dari kebijakan pengelolaan Blok G Pasar Tanah Abang dan pihak-pihak mana saja yang dirugikan atas diterapkannya kebijakan tersebut. Dalam menetapkan kebijakan tersebut Gubernur Anies beralasan untuk mengakomodasi para PKL.
Penelitian ini menemukan dugaan bahwa kebijakan penutupan jalan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi janji politik Gubernur Anies saat Pilkada DKI 2017 terhadap masyarakat Tanah Abang, sehingga sangat diduga beberapa pihak yang menerima manfaat dari diberlakukannya kebijakan tersebut adalah para PKL, Haji Lulung, dan Anak Wilayah (Komunitas Pemuda Tanah Abang di bawah binaan Haji Lulung). Selain itu, pihak-pihak yang dirugikan dari kebijakan tersebut adalah Pedagang Blok G, pejalan kaki, dan supir Angkot.
Penerapan kebijakan tersebut pada akhirnya membuat Gubernur Anies dinilai melakukan maladministrasi oleh Ombudsman, salah satunya dengan melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sehingga Ombudsman memunculkan rekomendasi penon-aktifan jabatan Anies sebagai gubernur kepada Kementerian Dalam Negeri.
The management of the Tanah Abang Market has always been a crucial problem since the leadership of Governor Sutiyoso (1997) to Governor Anies (2018), namely regarding the presence of street vendors (PKL) and congestion. In his 100 days of leadership, Governor Anies issued a policy of closing one of the road segments for selling street vendors, which gave rise to pros and cons. These problems in this study were examined using incremental models of public policy theory and externality models of neo-classical economic theory. The incremental model is a model that views public policy as a continuation of activities that have been carried out by the previous government, only by making changes it should. Whereas, the externality model is a model that views the impact (of transactions) on a third party (who does not participate in a transaction) in an agreement made between the first party and the second party. This research is about to answer the reasons why Governor Anies issued a policy on managing the Blok G Tanah Abang Market by closing one of the Jatibaru Raya Road segments and who benefited from the management policy of the Blok G Tanah Abang Market and which parties were disadvantaged for the implementation of the policy. In establishing the policy, Governor Anies reasoned to accommodate the street vendors. This study found the allegation that the road closure policy was carried out to accommodate Governor Anies political promises during the 2017 DKI Pilkada to the people of Tanah Abang, so it was highly suspected that some parties who benefited from the enactment of these policies were street vendors, Haji Lulung and Regional Children (Youth Community Tanah Abang under the guidance of Haji Lulung). In addition, the aggrieved parties of the policy are Block G Traders, pedestrians, and public transportation drivers. The implementation of this policy ultimately made Governor Anies considered maladministration by the Ombudsman, one of which was by violating Law No. 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation so that the Ombudsman raises recommendations for the deactivation of Anies position as governor to the Ministry of Home Affairs.