ABSTRACTSecara umum, ada pemahaman bahwa ruang berkesenian di Jakarta problematik bagi produktivitas suatu kelompok teater, mulai dari keterbatasan infrastruktur, kesulitan pendanaan, sampai tak adanya khalayak penonton teater. Dalam kondisi ruang tersebut, Teater Pandora berhasil menyelenggarakan empat judul pementasan pada tahun 2018. Penelitian saya mengkaji produktivitas tersebut dalam konteks ruangnya, yaitu dalam interaksi antara praktik produksi Teater Pandora dengan ruang berkesenian di Jakarta pada tahun 2018. Sesuai kerangka MediaSpace milik Couldry (2004), saya melihat interaksi tersebut bekerja dua arah; kondisi ruang membentuk Teater Pandora dan Teater Pandora juga membentuk ruangnya. Dengan etnografi sebagai metode, saya memaparkan bagaimana Teater Pandora memetakan, merespon, dan akhirnya membentuk ruangnya. Penelitian saya menemukan bahwa kuasa Teater Pandora adalah produktivitas itu sendiri yang terjadi dalam interaksi dengan ruang berkesenian di Jakarta pada tahun 2018.
ABSTRACTThere is a general understanding that Jakartas space of artistic production is problematic for a theater grous productivity; in terms of lack of infrastructure, financing problems, and the non-existent market of theater-goers. Amidst those spatial conditions, Teater Pandora succeeded in staging four performances in 2018 alone. My research is a study of that productivity in its spatial context, through analysis of interaction between Teater Pandoras production practices and Jakartas space of artistic production in 2018. With Couldrys MediaSpace (2004) perspective, I argue that the interaction works both ways; the conditions of its space shapes Teater Pandora while Teater Pandora shapes that space also. Using ethnography as my method, I elaborate on how Teater Pandora maps, responds, and ultimately shapes its space. My research finds that Teater Pandoras power is the productivity itself, which takes place in its interaction with Jakartas space of artistic production in 2018.