ABSTRACTDengan adanya kebijakan pemerintah terkait percepatan proyek infrastruktur di Indonesia demi kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur harus diutamakan pelaksanaannya agar dapat terlaksana dengan efisien dan efektif. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah menuntut mereka untuk menyertakan peran swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dalam hal ini, pembiayaan infrastruktur cenderung menjadi permasalahan yang paling utama karena kebutuhannya yang besar dan pelaksanaan infrastruktur yang rumit. Oleh karena itu, perusahaan yang melakukan pembangunan infrastruktur wajib melakukan pinjaman kredit, tidak hanya dari bank serta lembaga pembiayaan dalam negeri, namun juga dari luar negeri. Peran pinjaman luar negeri juga menciptakan adanya eksposur valuta asing terhadap pembiayaan infrastruktur karena pemberian kredit dilakukan dalam mata uang asing. Hal ini menjadi suatu permasalahan karena pemerintah juga mengeluarkan peraturan terkait kewajiban penggunaan Rupiah di Indonesia. Maka, pembuatan perjanjian konversi tripartit antara pihak pemerintah, perusahaan yang membangun infrastruktur, serta bank berperan penting dalam pembiayaan infrastruktur. Melalui penelitian berbasis yuridis-normatif ini, Penulis membahas hubungan hukum serta hak dan kewajiban para pihak dalam pembiayaan infrastruktur yang berasal dari pinjaman luar negeri terkait kewajiban penggunaan Rupiah. Berhubungan dengan hal ini, penting bagi para pihak untuk memperhatikan secara detil perancangan kontrak, yang merupakan akar dari lahirnya hubungan hukum, serta agar para pihak melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang tertulis dalam kontrak, mengingat pembangunan infrastruktur digunakan untuk kebermanfaatan bersama.
ABSTRACTAs of the governments regulation issuance regarding the acceleration of infrastructure projects in Indonesia, which targets for public works to boost social welfare, infrastructure projects are prioritized so that they can be carried out efficiently and effectively. The limited resources owned by the government encourage them to include the role of private sector through the Public-Private Partnerships scheme. In this case, project financing addresses the most crucial problem since most of them are large and expensive, tying up massive volumes of capital. Hence, project companies are required to grant credit loans, not only from banks and domestic financing institutions, but also from offshore. The role of offshore loan also creates foreign exchange exposure to project financing as offshore loan is given through foreign currencies. This becomes a serious concern as the government has also issued a regulation regarding to the obligation to use Rupiah in Indonesia. Hence, making the role of a tripartite converting agreement between the government, project company, and the converting bank, crucial. Through this normative legal research, the Author provides an overview about the contractual terms, also including the rights and obligations between the parties involved in infrastructure projects using offshore loans regarding the mandatory use of Rupiah. In accordance with this, it is important for the parties to give careful attention about the drafting of the contracts, which anchor the existence of any relationships between the parties, and to enforce their rights and obligations as agreed in the contracts, knowing the fact that infrastructure projects are entitled as public goods.