Akta Notaris di dalam UUJN didefinisikan sebagai akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Notaris dalam melaksanakan jabatannya, termasuk membuat akta autentik tersebut, harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan yang berlaku, dimana peraturan yang harus dijadikan pedoman oleh Notaris adalah UUJN serta Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia. Maka dari itu, Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, baik secara hukum maupun moral. Apabila di kemudian hari akta yang dibuatnya ternyata mengandung cacat hukum, maka perlu ditelaah kembali apakah kecacatan tersebut merupakan kesalahan Notaris, atau kesalahan pihak yang tidak memberikan dokumen dan/atau keterangan yang sebenarnya dalam proses pembuatan akta tersebut. Akibat dari kelalaian Notaris dalam membuat akta autentik sesuai dengan peraturan yang berlaku, acapkali akta tersebut dipermasalahkan di pengadilan, sehingga berakibat pada degradasi dalam kekuatan pembuktian akta tersebut, yang berarti bahwa akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian yang setara dengan akta yang dibuat di bawah tangan, atau bahkan dapat menjadi batal demi hukum. Salah satu permasalahan yang diangkat adalah akta Pelepasan Hak yang dibuat oleh seorang Notaris, dimana landasan yang digunakan untuk membuat akta dipertanyakan kebenarannya, dan menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Objek dari akta tersebut merupakan tanah yang pemiliknya berdasarkan akta tersebut, melepaskan haknya kepada pihak lain. Namun, pada saat tanah hendak dijual oleh pemilik tersebut dan dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional, diketahui bahwa tanah tersebut telah beralih kepemilikannya berdasarkan akta tersebut, yang ternyata pemilik merasa tidak pernah menandatangani aktanya. Kasus tersebut kemudian diangkat ke pengadilan setempat hingga ke tingkat kasasi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menelaah sejauh mana tanggung jawab seorang Notaris dalam pembuatan akta, serta mengungkap prosedur yang paling efisien yang dapat ditempuh oleh pemilik sah objek. Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan secara yuridis normatif diaplikasikan dalam rangka melakukan peninjauan dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, baik tertulis maupun tidak tertulis, untuk menjawab permasalahan, yang didukung dengan teori lainnya, atau dengan kata lain sumber sekunder. Adapun dirasa bahwa dalam permasalahan ini, dapat dicegah dengan kehati-hatian Notaris sesuai dengan kewajibannya, serta adanya integrasi antara basis data pada sistem Peradilan umum dengan basis data pada lembaga lainnya di Indonesia.
Notarial Deed under UUJN is defined as an authentic deed made by or before a Notary in a form specified under UUJN. In the commencement of their duty that includes creating authentic deeds, a Notary shall act professionally with due observance to governing law, which consists of UUJN and the Code of Notary. Respectively, a Notary shall be held responsible of their deeds, legally and morally. Shall there be found any legal flaws in the aforementioned deed, it is deemed necessary to determine whether the error is created by the Notary or any other party that did not provide the true copy of documents required in this matter. In effect of the negligence of the Notary in drafting an authentic deed subject to governing law, it is common for the deed to be brought as a case in a court, causing a degradation in the power of authentication of the deed, or even for the deed to be claimed null and void. In other words, the aforementioned deed has the same level of power of authentication as a private deed. One of the issues raised is the creation of a Deed of Relinquishment of Rights on land by a Notary, in which are made based on a reserved (counterfeited) documents and resulted in loss for certain parties. The object of the deed is a land whose owner relinquished their right to other party. However, when the owner meant to sell the object and commenced data verification to the National Land Agency, it is revealed that the right of the object has been transferred to another party based on the aforementioned deed, in which the owner claims to never have signed. The case then was brought to the court up to the appeal of the supreme court. The purpose of this research is to examine the length of the responsibility of the Notary in creating the deed, and also to reveal the most efficient resort that could be made by the owner in order to sell the land. A normative juridical approach is applied in this research as a method in order to conduct a legal review of the governing law, both written and unwritten, of Indonesia, to overcome the issues, supported by other theories (secondary source of theory). The issue of negligence could have been prevented by prudential of the Notary as required by the law, as well as an integration among database of the general judicative system and other institutions in Indonesia.