Mungkin tiada lagi rute jalan selegendaris jalan Anyer-Panarukan di dunia. Dibangun pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels membentang dari ujung barat hingga timur Pulau Jawa dalam waktu satu tahun (1808). Para pekerja membuka hutan, menguruk rawa demi mewujudkan jalan itu. Ribuan nyawa melayang.
Jalan membentang melintasi empat Propinsi; Banten: Anyer dan Tangerang; DKI Jakarta: Kota Tua dan Jatinegara; Jawa Barat: Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, Kadipaten dan Cirebon; Jawa Tengah: Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Lasem; Jawa Timur: Tuban, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo dan Panarukan.
Dua ratus tahun sudah Jalan Daendels dibuat. Jalan ini telah semakin akrab untuk warga Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Jalur pesisir menghubungkan antarwilayah di Pulau Jawa menjadi jalur populer mudik lebaran. Bagaimana perubahan yang terjadi dari jalan yang dibangun di atas keringat dan darah pribumi tersebut? Kehadiran jalan-jalan tol, Cipularang, Cipali Kanci, menyurutkan kehidupan ekonomi pada kawasan-kawasan itu. Jalan yang juga diwarnai kawasan-kawasan budaya itu mulai melesu. Sebagian penggalan jalannya pun perlahan terlupakan.
Buku ini merupakan liputan panjang Rubrik Jelajah, Harian Republika, yang terbit pada edisi Ahad. Liputan pertama dimulai menjelang akhir April 2013. Bersama fotografer, penulis menyusuri jalan bersejarah itu dari Titik Nol Anyer, Banten. Bersama seorang fotografer, kami mencari sisa-sisa yang bisa ditemukan berasal dari saat pembangunan jalan, mengamati kondisi lingkungan dan masyarakat pada masa kini,
Dilengkapi dengan foto ilustratif dan informatif, buku ini akan mengajak kita menyusuri kawasan-kawasan bersejarah sejak awal abad ke-19 dan menikmati kondisinya kini.