Penelitian ini mengkaji tentang relasi kaum misionaris Amerika yang datang ke Korea dengan kaum perempuan Korea di akhir abad ke-19. Pada masa ini, Korea baru saja membuka diri terhadap dunia internasional setelah berabad-abad mengisolasi diri demi menjadikan sistem pemerintahan yang anti-barat. Hingga abad inilah, kaum perempuan Korea hidup sebagai subordinasi dari kaum laki-laki, baik dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial. Semua itu berasal dari dasar isolasi yang berkembang di Korea masa itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sikap rakyat Korea terhadap modernisasi di akhir abad ke-19 melalui analisis sikap perempuan terhadap keberadaan misionaris di Korea pada akhir abad ke-19. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksplorasi dengan pendekatan diakronis. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa sikap kaum perempuan Korea terhadap misionaris pada akhir abad ke-19 dapat diartikan sebagai bentuk harapan yang baru pasca isolasi. Terlebih lagi membuktikan adanya perbedaan pandangan dan sikap antara kaum
Yangban dengan kaum perempuan Korea terhadap westernisasi.
This study examines the relation between the American missionaries who came to Korea with Korean women in the late 19th century. At this time, Korea had only just opened up to international world after centuries of isolating itself to make an anti-western system of Government. Until this century, Korean women lived as subordinates of men, both in the political, economic and social world. All of that comes from the base of isolation that developed in Korea at that time. The aim of this study is to explore the attitude of the Korean people towards modernization in the late 19th century through an analysis of women's attitudes towards the existence of missionaries in Korea at the end of the 19th century. This paper uses qualitative exploration method combined with diachronic approaches. The results of this study concluded that the response of Korean women to missionaries in the late 19th century could be interpreted as a new form of hope after isolation. Moreover, it proves that there are different views and responses between the
Yangban and Korean women towards westernization.