Profesionalisme pengelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki kompleksitas tata kelola dan intensitas bisnis yang tinggi akibat masalah perimbangan bank sebagai lembaga jasa keuangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyikapi hal tersebut mengadakan program Transformasi BPD yang bertujuan untuk memperkuat fundamental BPD, salah satunya terkait Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan. Melihat permasalahan tersebut, Bank DKI dalam praktiknya masih mengalami permasalahan tata kelola perusahaan, pengelolaan risiko yang kurang berhati-hati, dan melemahnya unit-unit pengendalian internal. Analisis terhadap permasalahan tersebut menunjukkan bahwa Bank DKI dalam memenuhi struktur tata kelola sesuai dengan ketentuan yang berwenang, namun memiliki kendala dalam mekanisme tata kelola karena Bank DKI beroperasi dalam nuansa politik yang kental dimana pemerintah daerah menjadi blockholder. Perubahan strategi dan kebijakan manajemen risiko yang memusatkan proses bisnis ke kantor pusat bank meningkatkan kualitas penyaluran kredit tetapi berimplikasi pada peningkatan intensitas bisnis ke manajemen puncak. Manajemen risiko internal Bank DKI efektif dalam mencegah terjadinya penyimpangan yang signifikan di tingkat operasional namun belum mampu mengantisipasi permasalahan yang terjadi di tingkat strategis (governance). Tata kelola kepatuhan terhadap regulasi dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam ketentuan yang berwenang sehingga secara administratif bank telah memenuhi ketentuan tersebut meskipun sebenarnya tidak ideal.
The professionalism of managing Regional Owned Enterprises (BUMD), especially Regional Development Banks (BPD), has a high governance complexity and business intensity due to the problem of balancing banks as financial service institutions owned by local governments. The Financial Services Authority (OJK) in responding to this matter held a BPD Transformation program which aims to strengthen the fundamentals of the BPD, one of which is related to Governance, Risk Management and Compliance. Seeing these problems, in practice, Bank DKI is still experiencing problems with corporate governance, inadvertent risk management, and weakening internal control units. Analysis of these problems shows that Bank DKI in fulfilling the governance structure in accordance with the regulatory provisions, however, has obstacles in the governance mechanism because Bank DKI operates in a strong political atmosphere where the local government becomes the blockholder. Changes in risk management strategies and policies that focus business processes at the head office of the bank improve the quality of lending but have implications for increasing business intensity to top management. Bank DKI's internal risk management is effective in preventing significant deviations at the operational level but has not been able to anticipate problems that occur at the strategic level (governance). Regulatory compliance governance is carried out by exploiting loopholes in the regulatory authorities so that administratively the bank has complied with these regulations even though it is not ideal.