ABSTRAKAgenda desentralisasi di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat pasca Reformasi 1998. Berbagai aturan diterapkan untuk memperkuat agenda-agenda desentralisasi itu sendiri secara institusional. Namun, meskipun penguatan terus dilakukan, masalah dalam pengelolaan daerah otonom tetap muncul, dengan salah satu kasus terbaru adalah konflik dalam penunjukan figur Sekda di Kota Bandung. Dengan berlatar belakang kasus tersebut, penelitian ini mencoba menyelidiki kekurangan dari berbagai program institusionalisasi desentralisasi yang telah diberlakukan selama ini dengan meneliti baik aktor-aktor yang terlibat dalam kasus tersebut hingga ragam aturan perundangan yang telah ditetapkan.
Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian tesis ini adalah: Mengapa konflik antara Ridwan Kamil dan Oded Danial dalam memperebutkan posisi Sekda Kota Bandung ini terjadi, dan apa yang sebenarnya mereka perebutkan?
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah birokrasi dan politik Smith dan Hill, dan teori konflik Simon Fisher dan Maurice Duverger. Dalam menemukan jawabannya, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam kasus penunjukan Sekda Kota Bandung, telah terjadi politisasi birokrasi yang dilakukan oleh aktor-aktor politik lokal yang bekerjasama dengan aktor-aktor politik pusat, kepada birokrat-birokrat senior baik di tingkat lokal maupun pusat. Politisasi tersebut terjadi dikarenakan dua faktor. Faktor pertama adalah motif politik elit politik lokal Bandung dan Jawa Barat untuk mengamankan posisi Sekda Bandung sebagai sumberdaya politik dan politik balas jasa. Adapun faktor kedua adalah masih ditemukannya celah dalam sistem perundangan yang mengatur keberjalanan pemerintahan di daerah, baik dalam UU 23/2014, UU 5/2014, PP 11/2017, dan UU 10/2016. Celah tersebut terlihat di dalam bab yang mengatur tata kelola pemerintahan daerah terkhusus di masa transisi kekuasaan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa peraturan perundangan yang mengatur tata kelola administrasi pemerintahan daerah di Indonesia masih membutuhkan banyak perbaikan, terkhususnya perbaikan dalam bab yang mengatur aturan main kekuasaan di masa transisi pemerintahan. Tidak hanya itu, peraturan perundangan yang mengatur ata kelola birokrasi di negara ini juga masih menyimpan celah politisasi yang bisa dimanfaatkan para elit politiknya. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa laju agenda desentralisasi di Indonesia terbukti masih sangat bergantung pada kemauan dan motif politik aktor-aktor elit politiknya, terutama di level pusat.
ABSTRACTThe decentralization agenda in Indonesia has progressed quite rapidly after the Reformation in 1998. Various rules were implemented to strengthen the decentralization agenda itself institutionally. However, despite continued reinforcement, problems in the management of autonomous regions continue to emerge, with one of the most recent cases being conflict is the appointment of local primary secretary figures in the city of Bandung. With this background, this study tries to investigate the shortcomings of various decentralization institutionalization programs that have been implemented so far by examining both the actors involved in the case and the various rules that have been established.
The research question to be answered in this research is: Why did the conflict between Ridwan Kamil and Oded Danial over the position of Local Primary Secretary of the Bandung City occur, and what were they actually fighting for?
The main theories used in this study were Smith and Hill's bureaucracy and politics, and conflict theory by Simon Fisher and Maurice Duverger. In finding the answer, this study uses qualitative research methods with a case study approach.
This study found that in the case of the appointment of the Secretary of the City of Bandung, there had been a politicization of bureaucracy carried out by local political actors who collaborated with central political actors, to senior bureaucrats both at the local and national levels. The politicization occurred due to two factors. The first factor was the political motives of the local political elite of Bandung and West Java to secure the position of the Bandung Regional Secretary as a political resource in return. The second factor is the fact that there are still gaps in the regulatory system that regulate the running for local government, both in Law 23/2014, Law 5/2014, PP 11/2017, and Law 10/2016. The gap is seen in the chapter that regulates regional governance especially in the transition period of power.
This study concludes that the legislation which governing the governance of local government administration in Indonesia still requires a lot of improvement, especially the improvement in the chapter that regulates the rules of play of power in the transition period. Not only that, the laws and regulations governing the management of bureaucracy in this country also still hold a gap in the politicization that can be utilized by the political elite. The theoretical implication of this research is that the pace of the decentralization agenda in Indonesia is proven to still depend heavily on the political will and motives of the actors of the political elite, especially at the central level.