Indonesia dalam 10 tahun terakhir sedang menghadapi gejala deindustrialisasi prematur, akibat terlalu cepat bergeser dari sektor manufaktur menuju sektor jasa-jasa informal. Pertumbuhan nilai tambah manufaktur cenderung stagnan di bawah rata-rata ekonomi nasional sebesar 5%. Akibatnya kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dari capaian tertinggi 31,95% (2002) menjadi hanya 20,16% (2017). Dikhawatirkan jika kondisi ini terus berlanjut akan menyebabkan perekonomian nasional sulit untuk lepas landas, dan masuk pada jebakan pendapatan menengah (middle income trap) seperti yang dialami oleh Argentina maupun Afrika Selatan. Analisis determinan nilai tambah manufaktur pada Survei Industri Pengolahan Besar dan Sedang BPS 1980-2015 menunjukan rendahnya investasi modal tetap untuk mesin maupun peralatan merupakan penyebab utama dari peforma negatif tersebut. Mau tidak mau perusahaan masih bergantung pada sumber daya pekerja murah dengan produktivitas rendah. Namun kabar baiknya, peningkatan produktivitas dalam output per pekerja membawa dampak yang positif signifikan terhadap nilai tambah manufaktur, terutama pada perusahaan dengan investasi asing langsung. Menariknya penggunaan bahan baku domestik sebagai substitusi bahan baku impor secara umum ternyata lebih inefisien dari sisi biaya produksi, sehingga menekan marjin dari nilai tambah. Meskipun dampaknya terhadap penciptaan multiplier maupun stabilitasi makroekonomi bisa jadi cukup signifikan. Sedangkan apresiasi nilai tukar manufaktur riil membuat harga barang domestik menjadi lebih mahal dari impor, sehingga permintaan untuk ekspor maupun nilai tambah menurun.
In the last 10 years, Indonesia has been facing the tendency of premature deindustrialization due to structural transformation from the manufacturing sector to the informal services sector, without going through mass industrialization. Manufacturing value added growth is stagnant below the national economic average of 5%. Not surprisingly the contribution of manucaturing sector to Gross Domestic Product continues to decline, from the highest achievement of 31.95% (2002) to 20.16% (2017). It is feared that if this condition continues will make the national economy difficult to take off, and enter the middle income trap. As experienced by Argentina and South Africa. Determinant analysis of manufacturing value added using Large and Medium Manufacturing Survey data from Indonesia Bureau of Statistics, shows the low fixed capital investment for machinery and equipment is the main cause of this negative performance. Inevitably the company still relies on cheap labor resources with low productivity. However the good news is increasing productivity in output per labor has a significant positive effect on manufacturing value added. Especially for companies with foreign direct investment. Interestingly the use of domestic raw materials as import raw materials subtitute is proven less efficient in terms of production costs. Thus the margin of value added diminished. Nevertheless, the debate over impact on multiplier and macroeconomic stabilization can be quite significant. While the appreciation of real effective exchange rate for manufacturing markedly made the price of domestic goods more expensive than import, so that demand for exports and value added diminished.