Pemberian pergantian, rehabilitasi, penghapusan, dan amnesti menjadi hak prerogatif belas kasih yang keberadaannya diakui di Indonesia bahkan sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan ini menjadi hak prerogatif penuh Presiden, yang memberikan hak penuh dan mutlak kepada Presiden. Terlebih dulu dalam menggunakan kekuatan. Ketika norma-norma konstitusional berubah, keberadaan otoritas ini sebagai hak prerogatif Presiden mulai mendapatkan pembatasan formal pada saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat melalui keterlibatan lembaga negara lain untuk memberikan pertimbangan. Mekanisme ini tetap sama pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan diperbarui dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang saat ini diberlakukan. Mekanisme keterlibatan lembaga negara lainnya dalam menerapkan grasi eksekutif dipilih dengan alasan untuk memberdayakan peran lembaga negara lainnya dan untuk membatasi kemungkinan kepentingan politik Presiden. Melalui perbandingan norma-norma konstitusional di Indonesia dan negara-negara lain dengan sistem presidensial, ditemukan bahwa model saat ini di Indonesia cukup umum, namun bentuk pembatasan formal ini bukanlah bentuk pembatasan terkuat. Menyadari gagasan di balik pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara yang memberikan pertimbangan kepada otoritas yang berbeda dari hak prerogatif, disarankan untuk menetapkan seperangkat aturan teknis yang secara jelas mengatur dan dengan jelas mendefinisikan otoritas tersebut, sehingga pembatasan kekuatan-kekuatan itu akan dilakukan secara efektif.
The granting of replacement, rehabilitation, abolition, and amnesty has become a prerogative of compassion whose existence is recognized in Indonesia even since the enactment of the 1945 Constitution. This power has become the full prerogative of the President, giving full and absolute rights to the President. First, in using force. When the constitutional norms change, the existence of this authority as a prerogative right of the President starts to get formal restrictions when the Constitution of the United States of Indonesia comes into force through the involvement of other state institutions to give consideration. This mechanism remained the same as the 1950 Provisional Constitution came into effect and was updated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which is currently in force. The mechanism of involvement of other state institutions in implementing executive pardon was chosen on the grounds to empower the role of other state institutions and to limit the possible political interests of the President. Through comparison of constitutional norms in Indonesia and other countries with the presidential system, it was found that the current model in Indonesia is quite common, but this form of formal restriction is not the strongest form of limitation. Recognizing the idea behind the appointment of the House of Representatives and the Supreme Court as a state institution giving consideration to authorities that differ from the prerogative, it is advisable to establish a set of technical rules that clearly regulate and clearly define these authorities, so that restrictions on those forces will be imposed effectively.