Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan. Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.
The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.