Tesis ini membahas tentang pemaknaan masyarakat Sasak terhadap Gajah Mada melalui dua petilasannya di Lombok. Tujuannya adalah untuk melihat produksi dan konsumsi makna masyarakat Sasak terhadap dua petilasan Gajah Mada sebagai sebuah strategi untuk mengkonstruksi identitas Orang Sasak terutama kaitannya dengan Pariwisata Halal di Nusa Tenggara Barat. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode etnografi dengan pendekatan Cultural Studies. Dengan menggunakan konsep makam sebagai lanskap kultural, dapat dilihat pemaknaan masyarakat Sasak terhadap Gajah Mada melalui ingatan kultural mereka yang hingga saat ini masih menjadikan dua petilasan Gajah Mada sebagai objek pariwisata. Hasil yang diperoleh ialah terdapat pemaknaan yang berbeda terhadap Gajah Mada di Selaparang dan Sembalun. Di Selaparang, terdapat Islamisasi terhadap Gajah Mada. Sementara di Sembalun, pemaknaan lebih mengarah ke sinkretisme Hindu-Islam karena terdapat berbagai lapisan masyarakat yang memaknai petilasan Gajah Mada tersebut, mulai dari masyarakat Hindu, Islam Wetu Telu, hingga Islam Waktu Lima. Selain itu, di Sembalun terdapat kontestasi narasi yang dihadirkan oleh Tetua Adat dan pemerintah tentang ingatan mereka terhadap Gajah Mada yang tampak pada dua papan nama penyebutan objek pariwisata itu. Bagaimanapun, dua petilasan Gajah Mada di Lombok dapat menjadi salah satu strategi konstruksi identitas Orang Sasak terutama berkaitan dengan Pariwisata Halal di Nusa Tenggara Barat.
This thesis discusses the meaning-making of the Sasak community towards two burial sites of Gajah Mada in Lombok. By conducting ethnographic methods with a Cultural Studies approach, this qualitive research aims to see the meaning-making of the Sasak community towards two burial sites of Gajah Mada in Lombok as a strategy to construct the identity of the Sasak people, particularly in accordance with Halal Tourism in West Nusa Tenggara. The concept of cemetery as a cultural landscape was used in this study to see the meaning-making of the Sasak people towards two burial sites of Gajah Mada through their cultural memories. The findings show that there are the different meanings toward two burial sites of Gajah Mada both in Selaparang and Sembalun. In Selaparang, there is Islamization towards Gajah Mada. While in Sembalun, there is more syncretism (Hindu-Islamic) meaning, because there are Hindu society, Wetu Telu community, and Islam Waktu Lima community were interpreted the meaning towards Gajah Mada. Besides that, there is a narrative contest presented by the Customary Council Village of Sembalun and the local government regarding memories of Gajah Mada which can be seen from the two nameplates mentioning the tourism objects in Sembalun. However, the two burial sites of Gajah Mada in Lombok can be one of the strategies for constructing the identity of the Sasak people, particularly related to Halal Tourism in West Nusa Tenggara.