Minang Mande Cake dan Minang Nan Tigo adalah dua oleh-oleh yang dimiliki oleh artis dan berada di kota Padang, Sumatera Barat. Kue artis yang dijual sebagai oleh-oleh telah megalami pergeseran baik secara fungsi maupun makna oleh wisatawan maupun masyarakat kota Padang. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa produsen oleh-oleh kue artis telah mengkonstruksi dan mengkomodifikasi kelokalan dengan melekatkan atribut kelokalan pada produk kue artis tersebut. Atribut kelokalan dilekatkan pada jenama dagang, kemasan, dekorasi outlet dan melalui akun media sosial kue artis. Atribut kelokalan tersebut dihadirkan sebagai bentuk autentifikasi yang dipanggungkan dengan tujuan untuk mempromosikan produk kue artis sebagai oleh-oleh yang berasal dari Padang. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen lebih menyoroti penanda lain dalam membeli produk dan sama sekali bertentangan dengan konstruksi kelokalan yang dihadirkan oleh produsen. Konsumen membeli oleh-oleh kue artis berdasarkan kebaharuan, inovasi dan kehigienitasan dari produk. Hal itu sama sekali berbeda dengan penanda indentitas kelokalan yang dilekatkan oleh produsen secara dominan pada produk tersebut. Secara keseluruhan, fenomena budaya ini menunjukkan bagaimana masyarakat urban telah menjadi cultural omnivores yang membeli sebuah produk untuk memenuhi selera global dan lokal mereka. Penelitian ini turut berkontribusi pada diskusi ilmiah mengenai produk kuliner yang mempermasalahkan hubungan antara global dan lokal serta agensi dari konsumen untuk selalu memaknai identitas yang dilekatkan pada produk kuliner tersebut.
Minang Mande Cake and Minang nantigo are two culinary souvenirs in Padang, West Sumatera, owned by Indonesian public figures. Oleh-oleh kue artis or speciality foodsold as souvenirs has shifted the function and siginification of souvenirs for both tourists and the people of Padang. The findings of this research show that producers of oleh-oleh kue artis has constructed and commodified locality by embedding local attributes to the souvenir products. The attributes are embedded in the products name, packaging, outlet decorations and through their social media account. Those local attributes are presented as a form of authentification or staged authenticity in order to promote the products as local souvenirs from Padang. Meanwhile, research findings show that consumers are highlighting on other identity markers which are in contrast of the construction of locality. Consumers are seeking products that are new (novelty), modern (trendy) and hygienic defying the traditional local markers in the encoded dominant meaning imposed by the producers. All in all, this cultural phenomenon exemplifies how urban dwellers have become cultural omnivores that seek products that fulfill their global and local taste. This research contributes to the ongoing scholarly debates on how culinary products problematize the global-local nexus and the agency of consumers to constantly and creatively make sense of the enforced identity these cultural products articulate.