Puncak Songolikur, salah satu bukit yang disakralkan dan menjadi tempat ritual bagi masyarakat Tengger brang wetan mengalami perubahan makna dan fungsi sosial akibat perubahan struktur sosial dan budaya pada masyarakat sekitar terutama karena masuknya agama resmi dari pemerintah di masa orde baru, pembaruan Islam, dan pembangunan wisata di tempat ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan masyarakat Tengger atas Puncak Songolikur sebagai ruang spiritual berkaitan dengan memori kultural tentang leluhur, yang berakar pada agama nenek moyang yaitu Budo Tengger. Meskipun berasal dari tradisi keagamaan, pengetahuan dan ingatan tentang leluhur berkembang menjadi memori kultural yang direkonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan situasi sosial kultural saat ini, dan tidak melekat pada agama itu sendiri Sejak tahun 2009 sampai 2013, Puncak Songolikur dipolitisasi menjadi sebuah ikon wisata budaya yang diinisiasi oleh aktor-aktor lokal untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi dan tradisi mereka. Pada perkembangannya setelah 2013, dominasi pemerintah dalam pengelolaan wisata telah mengubah arah pembangunan wisata dan menjadikan tempat ini sebagai wisata yang menawarkan pengalaman menikmati pemandangan dan eksplorasi eksotisme alam semata. Respon masyarakat lokal terhadap narasi wisata yang berkembang saat ini telah menjadi suatu bentuk penciptaan ruang otonom dan juga sebagai bentuk negosiasi masyarakat sekitar terhadap pariwisata yang digerakkan oleh pemerintah. Penelitian ini menunjukkan bahwa irisan antara keragaman memori kultural masyarakat atas leluhur Tengger justru menjadi bentuk kontrol terhadap ruang pariwisata. Hal tersebut menjadikan keberadaan ruang wisata berkoeksistensi dengan ruang spiritual Puncak Songolikur, meskipun dalam koeksistensi tersebut tetap terdapat hubungan saling mempengaruhi, berkontestasi, dan bernegosiasi antar aktor yang ada.
Puncak Songolikur has always been considered as one of the sacred hills in Mount Bromo and has been used as ritual places for Tengger community members. The changes in the social and cultural structure due to the enforcement of official religions during the New Order Era, Islamic Renewal in the year 2000 and the development of tourism in the area has ignited dynamic meaning-making processes in relation to the spiritual practices in Puncak Songolikur. These dynamic processes have been more complex since this place is transformed into a site of tourist destination. How Tengger community members construct meanings over the spiritual space is basically related to their cultural memory of the ancestors, which is rooted in the religion of the ancestors, namely Budo Tengger. Even though the basis had been on their religious traditions, knowledge and memories of ancestors have turned into cultural memory that can be reconstructed and contextualized in accordance with the present social and cultural environment. It is not embedded in the religion itself. From 2009 to 2013, Puncak Songolikur was politicized as the icon of cultural tourism by local actors in order to legitimate their existence and Tenggers tradition. However, since 2013, the domination of regional government has transformed the orientation of tourist development and turned it into a destination that only offers experience of exploring natural exoticism. The local community’s responses to the tourism narrative developing present time have created autonomous spaces that control and negotiate the tourism discourse. This research shows that the intersections among the heterogeneity of cultural memory in the local community paradoxically create control of these tourist space. All in all, spaces of tourism coexist with the spiritual spaces of Puncak Songolikur. However, the coexistence ambiguously exemplifies the forms of negotiation and contestation among the actors.