Party Autonomy Principles ensure that arbitration remains flexible in its nature and by ensuring an integral part of the proceedings namely the parties ability to tailor the procedure of their arbitration to their needs. This autonomy also includes the basic right of parties to be able to freely appoint, constitute, challenge and remove arbitrators commonly referred to as Rules Governing Arbitrators. BANI, the oldest arbitral institution in Indonesia, however, is known for having policy and implementation in its governing regulations which undermine party autonomy. This research discusses firstly, the differences of party autonomy in regulations governing BANI Arbitration Centre (hereinafter shall be called BANI) proceedings in comparison to Singapore International Arbitration (SIAC) proceedings in both arbitration law and rules. Secondly, this research discusses the necessity in the reform of regulations governing BANI proceedings. By conducting a juridical normative legal research, applying a comparative approach, it can be concluded that institutional arbitration at BANI still hinders party autonomy by having increased thresholds of qualifications for arbitrators and challenge requirements as well as inability to be able to nominate a presiding arbitrator, making the usage of BANI unpopular in the region as opposed to SIAC. Secondly, regulations governing BANI proceedings must be reformed for reasons of flexibility, certainty and efficiency. The suggestion would be to reform in terms of arbitration law, for Indonesia to adopt with modifications provisions in regard to the appointment, selection and challenge of arbitrators in the UNCITRAL Model Law.
Prinsip party autonomy, kemampuan para pihak untuk menyesuaikan prosedur arbitrase mereka dengan kebutuhan dan maksud mereka dan mencakup hak dasar para pihak untuk dapat secara bebas menunjuk membentuk majelis mengajukan keberatan terhadap; dan memecat arbiter, dalam arbitrase memastikan bahwa proses arbitrase tetap fleksibel namun BANI, sebagai institusi arbitrase tertua di Indonesia, terkenal mempunyai pengaturan dan implementasi yang merendahkan party autonomy. Penelitian ini membahas perbedaan yang berkaitan dengan party autonomy dalam peraturan perundang-undangan dan arbitration rules yang mengatur proses beracara di BANI dibandingkan dengan SIAC. Penelitian ini juga membahas keperluan reformasi peraturan yang mengatur proses beracara di BANI. Penelitian dengan metode yuridis normatif yang menggunakan pendekatan komparatif ini menyimpulkan bahwa arbitrase institusional di BANI berbeda dengan SIAC, yang mana arbitrase institusional di BANI masih menghalangi party autonomy dalam hal ambang kualifikasi untuk arbiter, persyaratan keberatan terhadap arbiter dan ketidakmampuan untuk dapat menunjuk atau bahkan menominasikan seorang arbiter ketiga dalam suatu sidang membuat penggunaan BANI sangat tidak populer di wilayah Asia dibandingkan dengan SIAC. Peraturan yang mengatur proses beracara di BANI harus direformasi untuk meningkatkan fleksibilitas, kepastian hukum dan efisiensi dalam prosedur beracara BANI. Saran dalam penelitian ini adalah untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan beracara di BANI dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law.