Perkembangan perdagangan secara elektronik (e-commerce) telah menyebabkan berkembangnya jenis barang dan jasa yang dijual di media tersebut. Dengan tingginya pengguna internet di Indonesia maka hal ini menjadikan adanya urgensi bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perhatiannya atas pengenaan pajak pertambahan nilai terhadap barang dan jasa digital. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang didukung dari data-data yang diperoleh selama penelitian, buku-buku, literatur dan sumber lain yang relevan. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi produk digital diatur dalam Pasal 3A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 dan juga Permenkeu Nomor 40/PMK.03/2010 yang mengatur mekanisme reverse charge di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, pengaturan tersebut belum dapat berjalan efektif, hal tersebut karena beban pemungutan, pelaporan dan penyetoran pajak terutang dibebankan kepada si pembeli atau konsumen. Selain itu adanya pelaku usaha yang tidak berkedudukan di Indonesia juga menambah rumitnya permasalahan ini. Sedangkan ruang lingkup Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lain masih terbatas pada lingkup Pajak Penghasilan. Maka dari itu pemerintah perlu untuk segera memperbarui pengaturan mekanisme pengenaan pajak pertambahan Nilai atas barang dan jasa digital dan juga memperluas lingkup yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
The development of electronic trading (e-commerce) has led to the growth of goods and services sold in the digital platform/marketplace. With the high Internet users in Indonesia, this makes the urgency for the Indonesian Government to increase its attention to the imposition of value added tax on digital goods and services. The research methods in this study are supported literature research from data obtained during research, books, literature and other relevant sources. The imposition of value added tax (VAT) on the transaction of digital products is regulated in article 3A paragraph (3) UU No. 42 year 2009 and also Permenkeu number 40/PMK. 03/2010 which regulates reverse charge mechanism in Indonesia. However, in its execution, such arrangements have not been able to run effectively, it is due to the burden of voting, reporting and withholding tax payable to the buyer or the consumer. In addition, there are business actors who are not domiciled in Indonesia also increase the complexity of this problem. Therefore, the Government needs to promptly update the setting of the imposition of value added tax on digital goods and services and also expand the scope of the agreement in the avoidance of double taxation.