Kelompok Perusahaan Multinasional (MNE) merupakan badan usaha yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang didirikan di berbagai negara melalui jalur PMA. Pendirian tersebut memberi efek sampingan bagi Kelompok Perusahaan Multinasional tumbuh menjadi organisasi yang kompleks dengan ratusan atau ribuan anak perusahaan, di bawah pengendalian suatu induk perusahaan. Kompleksnya bentuk organisasi Kelompok Perusahaan Multinasional salah satunya mengakibatkan, ketika anggota kelompok perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), induk perusahaan akan terlindung oleh lapisan-lapisan anak perusahaan dan prinsip separate legal entity. Hal tersebut menyebabkan digunakannya Doktrin Entitas Ekonomi Tunggal (EET) yang memperlakukan Kelompok Perusahaan Multinasional sebagai satu kesatuan ekonomi, untuk mengenakan pertanggungjawaban PMH terhadap induk perusahaan.
Menggunakan studi literatur, peneliti bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai peran Doktrin EET yang digunakan untuk menyeret induk perusahaan agar turut bertanggung jawab dalam PMH yang dilakukan oleh anak perusahaannya, dalam persoalan penentuan hukum yang berlaku dan pengaruhnya terhadap status personal badan hukum dalam Kelompok Perusahaan Multinasional.
Kesimpulannya adalah, Doktrin EET berfungsi sebagai Titik Pertalian Lebih Lanjut (TPL) Tambahan terhadap induk perusahaan, karena merupakan faktor tambahan terhadap titik taut locus delicti commissi, yang dalam konteks Hukum Perdata Internasional merupakan Titik Pertalian Sekunder dalam PMH. Oleh karena Doktrin EET menerapkan kompetensi relatif pengadilan terhadap induk perusahaan Kelompok Perusahaan Multinasional yang berada di luar yurisdiksinya, berdasarkan prinsip domisili (teritorialitas). Namun demikian, meskipun berdasarkan Doktrin EET diperlakukan sebagai entitas ekonomi tunggal, Kelompok Perusahaan Multinasional tetap merupakan badan usaha yang terdiri dari badan hukum-badan hukum mandiri dengan status personalnya sendiri-sendiri.
Multinational Enterprise Group (MNE) is a business entity consisting of many companies which established in various countries through its foreign investment. This attempt has a side effect for the Multinational Enterprise Group to expand considerably into a complex organization with hundreds or thousands of subsidiaries, under the control of a parent company. As the result of the complexity of the organization therefore when members of a MNE commited an act of tort, the parent company will be protected by layers of subsidiaries and the principle of a separate legal entity. This has led to the exertion of the Doctrine of the Single Economic Entity (SEE) to treat MNE as an economic entity to impose the tort liability on the parent company. Using literature study, researcher aim to get an overview of the role or influnce of the SEE Doctrine which has been used to drag the parent company to take responsibility on the behalf of its subsidiaries act of tort, to the applicable of the law and on the personal status of the legal entities of the Multinational Enterprise Group. The conclusion is that the SEE Doctrine performs as an Additional Further Linking Point (AFL) to the parent company, due to additional factor to the locus delicti commissi link point as Secondary Linking Point in the purview of the Private International Law. The SEE Doctrine applies the relative competence of the court to the parent company of a Multinational Enterprise Group which seated outside its jurisdiction based on the principle of territoriality. Although Multinational Enterprise Group is treated as a single economic entity based on the SEE Doctrine perspective, it remains as a business entity consisting of independent legal entities with their own personal status.