Perbedaan budaya ditemukan memiliki pengaruh dalam perilaku kemalasan sosial. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan individu dari budaya individualistis, individu dari budaya kolektivis lebih cenderung mengalami masalah sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah kemalasan sosial terjadi ketika individu dari budaya kolektivis bekerja dengan individu dari budaya individualistis. Dengan menggunakan eksperimen dengan desain 3-tingkat antar kelompok, 36 mahasiswa Universitas Queensland (22 orang berasal dari Indonesia & 14 orang dari Australia) secara acak ditugaskan untuk bekerja secara individu (koaktif), dalam kelompok tiga orang Indonesia (orang Indonesia dianggap memiliki budaya kolektif), atau dalam kelompok yang terdiri dari satu orang Indonesia dan dua orang Australia (campuran kolektif). Secara total, dalam penelitian ini ada empat kelompok individu, empat kelompok kolektif Indonesia, dan empat kelompok kolektif campuran. Mereka diminta untuk menuliskan nama-nama negara sebanyak mungkin di selembar kertas, di mana skor mereka digunakan untuk mengukur kemalasan sosial (variabel dependen). Hasil pengujian teknik statistik dengan menggunakan independent sample t-test menemukan bahwa peserta dalam kondisi koaktif secara signifikan menuliskan lebih banyak negara dibandingkan dengan peserta dalam kondisi kolektif. Selain itu, ditemukan pula bahwa ada perbedaan yang tidak signifikan antara peserta dalam kondisi kolektif Indonesia dan peserta dalam kondisi kolektif campuran. Hal ini menunjukan bahwa kemalasan sosial lebih banyak terjadi dalam kerja kelompok, dan bahwa nilai-nilai budaya tidak mempengaruhi kemalasan sosial. Untuk penelitian lebih lanjut, perbaikan dalam hal metode penelitian harus dilakukan, misalnya dengan menghindari menempatkan peserta yang akrab dalam kelompok yang sama, menguji peserta dari negara kolektivis yang berbeda, menganalisa kepribadian peserta yang berbeda-beda, dan membuat tugas agar tidak menarik.
Cultural differences have been found to have an influence in the behaviour of social loafing. Previous research indicates that compared to individuals from individualistic cultures, individuals from collectivist cultures are more likely to do social loafing. This study objective is to examine whether social loafing occurs when individuals from collectivist culture work with individuals from individualist culture. Using experimental with 3-level between groups design, 36 University of Queensland students (22 Indonesians & 14 Australians) were randomly assigned to either work individually (coactive), in groups of three Indonesians (collective Indonesians), or in groups of one Indonesian and two Australians (collective mixed). In total, there were four groups of individuals, four groups of collective Indonesian, and four groups of collective mixed. They were required to list as many countries as they could on a piece of paper, where their scores were used to measure social loafing (dependent variable). Independent-groups t-tests revealed that participants in the coactive condition listed significantly more countries compared to participants in the collective condition. It was also revealed that there was a non-significant difference between participants in the collective Indonesian condition and participants in the collective mixed condition. This means that social loafing occurred more in group work, and that cultural values did not influence social loafing. Improvements regarding methodological issues have been recommended. Future research should avoid putting familiar participants in the same group, test participants from several collectivist countries, analyse the different personalities within participants, and make the task uninteresting.