ABSTRAKFiksi transkultural muncul di Indonesia sejak masa kolonial Belanda melalui para pengarang keturunan Tionghoa generasi kedua maupun berikutnya. Tema transkultur lahir sebagai bentuk ekspresi dari kegelisahan mereka sebagai diasporan Cina di wilayah ini. Negosiasi dan resistensi terhadap budaya leluhur yang terjadi dalam proses pembentukan identitas mereka dimanifestasikan dalam bentuk karya sastra yang menampilkan pergulatan para tokoh protagonisnya dalam menyikapi permasalahan kehidupan mereka. Dalam Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay pergulatan itu muncul pada tokoh Bian Koen, Marsiti, dan Gwat Nio dan upaya penciptaan third space tampil secara simbolik pada tokoh Gwat Nio. Sedangkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng pergulatan tersebut muncul pada tokoh ayah-Nung Atasana, dan keempat perempuan anak kembarnya (Siska, Indah, Rosi, Novera) dengan upaya penciptaan third space yang intensif pada keempat protagonis perempuan. Hasil analisis ini menguatkan argumen bahwa identitas merupakan proses yang senantiasa dalam pergulatan (in the making) sebagaimana terlihat dalam kedua karya berbeda jaman ini. Dengan demikian, identitas ke-Cina-an bagi diasporan Tionghoa di Indonesia senantiasa cair, tidak kaku, dan selalu menghadapi dinamika renegosiasi dari jaman ke jaman.