Remaja tunanetra memahami lingkungan sekitar dari kemampuannya mengenai kebudayaan kebutaan yang berasal dari self melalui respons sensorik selain penglihatan. Cara tersebut justru menjadikan tunanetra dan able-bodied pada pemahaman yang keliru karena adanya kebudayaan yang berbeda, sehingga dapat membangun kebudayaan kebutaan yang berasal dari the other (able-bodied) berupa stigma dan diskriminasi yang hingga kini masih melekat. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana remaja tunanetra memahami kebudayaan kebutaan dalam lingkup familiarity, salah satunya adalah hubungan persahabatan yang dilakukan pada ruang sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi, berupa observasi partisipan dengan teknik sensory awareness, dan wawancara mendalam dengan teknik life history yang dilakukan di SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta sebagai salah satu sekolah khusus tunanetra yang berada di Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan persahabatan yang dijalin remaja tunanetra di sekolah sebagai ruang membagikan pengalaman-pengalaman mereka seputar kebudayaan kebutaan sampai pada fase familiarity. Kemudian mereka dapat mengidentifikasikan dan menegosiasikan kebudayaan kebutaan berupa stigma dan diskriminasi tersebut sampai mereka membangun identitas kebutaan bahwa mereka mandiri, dan tidak berbeda.
Tunanetra adolescents understand the surrounding environment from their abilities regarding the blindness cultural that comes from self through sensory responses other than vision. This method actually makes tunanetra and able-bodied to the wrong understanding because of different cultures, which is able to build a cultural of blindness that comes from the other (able-bodied) in the form of stigma and discrimination that is still inherent. This study aims to describe how visually impaired adolescents understand the culture of blindness within the scope of familiarity, one of which is friendship relations conducted in the school. This study uses ethnographic methods, in the form of participant observation with sensory awareness techniques, and in-depth interviews with life history techniques conducted at the SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta as one of the special schools for tunanetra in Jakarta. The results of this study indicate that the friendship relations that are formed by tunanetra adolescents at school as a space to share their experiences around the cultural of blindness to the phase of familiarity. Then they can identify and negotiate a cultural of blindness in the form of stigma and discrimination until they establish an identity of blindness that they are independent, and not different.