ABSTRAKPenelitian ini tentang keterpilihan Airlangga Hartarto menjadi ketua umum Partai Golkar secara aklamasi pada Munaslub tahun 2017 dan ini baru pertama kali terjadi di Partai Golkar pasca Orde Baru. Keterpilihan Airlangga Hartarto menunjukkan adanya pergeseran faksi Partai Golkar dari kompetitif ke kooperatif. Untuk menganalisa, penelitian ini menggunakan pendekatan institusionalisme pilihan rasional dari Peters, Clarke & Foweraker, Hall & Taylor serta Shesple. Selain itu peneliti juga menggunakan teori demokrasi internal partai dari Alan Ware, Huntington dan Norris. Untuk melihat faksionalisasi, peneliti menggunakan teori faksi dari Boucek, Belloni & Beller serta Paul Lewis. Teori penyatuan elit dari Higley & Burton serta teori kepemimpinan dari Alan Ware serta Heywood. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Data primer didapat dari wawancara dan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan atau analisis dokumen. Terdapat beberapa faktor mengapa Airlangga Hartarto terpilih secara aklamasi. Peneliti memulai dari faktor pendorong dilaksanakannya Munaslub, terdapat faktor internal serta eksternal. Faktor internal, ketua umum Setya Novanto menjadi tersangka dalam kasus E-KTP sehingga terjadi kekosongan pimpinan partai. Faktor eksternal, akibat kasus tersebut, citra partai di mata publik menurun, terlihat dengan menurunnya elektabilitas. Selain itu, terdapat agenda politik Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang perlu dihadapi oleh partai. Keterpilihan Airlangga Hartarto secara aklamasi ini merupakan bentuk "ekuilibrium nash". Selain itu, terdapat hubungan "mutualisme" antara kepentingan pemerintah dan Partai Golkar. Partai ini memiliki pragmatisme untuk selalu menjadi bagian dari pemerintah. Sehingga posisi Airlangga sebagai satu-satunya menteri dari Partai Golkar di Kabinet Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi sangat berpengaruh.
ABSTRACTThis research is about Airlangga Hartarto's winning as the chairman of the Golkar Party by acclamation at the Extraordinary National Conference in 2017 and it was the first time has happened in the Golkar Party on post-New Order. It shows the shifting of faction in Golkar Party from competitive to cooperative. To analyse, this research use the rational choice institutionalism approach of Peters, Clarke & Foweraker, Hall & Taylor and Shesple. In addition, researchers also use the theory of internal democracy of party from Alan Ware, Huntington and Norris. To see factionalism, researchers used factional theories from Boucek, Belloni & Beller and Paul Lewis. The theory of the union of elites from Higley & Burton and leadership theory from Alan Ware and Heywood. This research uses qualitative methods with primary and secondary data sources. Primary data obtained from interviews and secondary data obtained from literature study or document analysis. There are several factors why Airlangga was chosen by acclamation. Researchers start from the driving factors for the implementation of the Extraordinary National Conference, there are internal and external factors. Internal factors, the chairman Setya Novanto became a suspect in the E-KTP case, and then the leadership vacancy occured in the Golkar Party. External factors, due to the case, the party's image in the public declined, seen with the decreased of electability. Additionaly, political agenda such as Pilkada 2018 and Pemilu 2019 need to be faced by the party. Airlangga's winning by acclamation is a form of "equilibrium nash". There is a "mutualism" relationship between the interests of the Government and the Golkar Party. This party has the pragmatism to always be a part of the Government. So, Airlangga's position as the only minister from Golkar Party in the Cabinet of Joko Widodo-Jusuf Kalla become very influential.