ABSTRAKIntegrasi pola pengelolaan sumber daya air (PSDA) ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak perubahan pemanfaatan ruang dan mempertahankan daya dukung lingkungan hidup. Penelitian ini bermaksud mengintegrasikan pola pengelolaan sumber daya air ke rencana tata ruang wilayah. Permasalahan yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah cara menghitung ketersediaan dan kebutuhan air pada Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang diamanatkan dalam lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009. Cara menghitung ketersediaan air telah diuraikan dalam Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, namun, metode yang digunakan untuk menghitung ketersediaan air (KA) tersebut kurang tepat, karena menggunakan rumus rasional. Permasalahannya adalah bahwa, selama ini metode rasional dikembangkan untuk menghitung debit rencana saluran drainase untuk daerah kecil dengan waktu konsentrasi yang singkat. Metode rasional pada dasarnya adalah metode perhitungan debit puncak. Oleh karena itu, perlu dicari model lain yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia yang mampulaksana untuk untuk memperkirakan ketersediaan air dalam penyediaan air baku air minum sebuah kota. Berdasarkan permasalahan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah, untuk mewujudkan integrasi Pola PSDA ke RTRW melalui cara penghitungan potensi ketersediaan air di suatu wilayah pada Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang terdapat dalam lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009. Melalui tinjauan pustaka tentang metode mengestimasi potensi KA, disimpulkan bahwa, metode yang paling mendasar untuk menghitung KA adalah metode neraca air (NA). Untuk itu kemudian ditetapkanlah kriteria pemilihan model NA, yang disesuaikan dengan kriteria mampu laksana. Kriteria mampu laksana, dalam arti, model estimasi potensi KA ini akan bisa digunakan oleh para perencana RTRW dengan mudah dan hasilnya bisa dipertanggung jawabkan. Melalui kajian pustaka dan hasil survei wawancara mendalam kepada para pengguna model, kemudian dipilihlah tiga model neraca air hidrologi yaitu model Mock, SCS-CN dan SWAT sebagai alternatif modul untuk estimasi KA. Kemudian dilakukan uji coba model. Uji coba model hidrologi ini dimaksudkan untuk memahami karakteristik model dan menentukan tingkat kesulitannya. Hasil uji coba model hidrologi untuk estimasi potensi ketersediaan air di DAS Cisadane hulu diperoleh kesimpulan bahwa pola hubungan yang erat antara hasil prediksi model dengan hasil observasi lapangan, dimana nilai koefisien determinasi (R2) model Rasional 0.66, dari model Mock 0.69, dari model SCS-CN0.62 dan dari model SWAT diperoleh nilai R2= 0.68. Artinya model hidrologi tersebut dapat digunakan untuk simulasi KA. Dalam penelitian ini kebutuhan air juga dihitung sesuai dengan kegiatan RTRW kota Bogor tahun 2014. Hasil perhitungan Daya dukung air untuk kota Bogor tahun 2004-2008 menunjukkan kondisi surplus.
Berdasarkan uji coba 3 (tiga) model hidrologi kemudian disusun instrumen penelitian (kuesioner) dengan variabel dan indikator kemampulaksanaan model hidrologi. Variabel yang akan diteliti adalah karakteristik model hidrologi, sedangkan model hidrologi yang akan diteliti adalah Rasional, Mock, SCS-CN dan SWAT. Indikator karakteristik model adalah a) kemudahan pencarian dan persiapan data untuk input model, b) kemudahan model menghitung komponen neraca air, c) kehandalan model dan d) kemudahan mendapatkan perangkat pendukung model serta e). kondisi sumber daya manusia (SDM). Instrumen disampaikan kepada pengguna model yaitu, a) staff sumber daya air Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, b) Konsultan keairan dan c) dosen teknik sipil keairan. Jawaban responden mengenai pencarian dan persiapan data untuk untuk input model adalah bahwa model SWAT dinyatakan paling mudah dengan nilai rata-rata tingkat kemudahan 1.93. Dalam menghitung neraca air, responden menyatakan bahwa SWAT paling mudah menghitung komponen neraca air, dengan nilai rata-rata tingkat kemudahan 1.88. Sedangkan dari indikator kehandalan model, Mock mendapat nilai tingkat kemudahan 2.0, paling mudah diantara 3 model lainnya. Artinya, menurut responden, kalibrasi dan validasi model Mock dinilai paling mudah. Sedangkan dalam hal kemudahan mendapatkan perangkat pendukung, responden menyatakan perangkat pendukung model SWAT adalah yang paling mudah diperoleh.
Prosedur untuk mengases kemampulaksanaan model hidrologi dalam estimasi potensi ketersediaan air untuk RTRW menggunakan Indikator i) ketersediaan data, ii) kemampuan menghitung NA, iii) kehandalan model dan iv) kemudahan mendapatkan perangkat pendukung model serta v) kesiapan sumber daya manusia, sudah diujicobakan pada lokasi studi DAS Cisadane hulu, dan dengan responden para pengguna model hidrologi.
ABSTARCTThe integration of water resource management pattern with regional spatial plan is needed in minimizing the effect of adjustments of spatial use and in sustaining the carrying capacity of the environment. This study aims to integrate water resource management pattern with regional spatial plan. It addresses the problem in calculating water availability and water needs in the Guidance for Determining Environmental Carrying Capacity in Regional Spatial Planning, mandated in the Annex of Regulation of the Minister for Environment No 17/2009. The Guidance outlined a method of determining water availability which is based on rational modeling. The use of rational model as a foundation in this case is problematic since the rational model was developed to calculate discharge plans for drainage channels in small areas and in short time concentrations. The rational method is, in essence, a peak discharge calculation method. There is a need to find other model that is widely known and widely used in Indonesia capable of determining the water availability to supply standard drinking water of a city.
Based on the problem, the objective of this study is to integrate water resource management pattern with regional spatial planning through the calculation of water availability potential in a region in the Guidance for Determining Environmental Carrying Capacity in Regional Spatial Planning, found in the Annex of the Regulation of the Minister for Environment No. 17/2009. Through a literature review on the methods on estimating water availability potential, the water balance method is found to be the most fundamental method in water availability estimation. A set of criteria for water balance model selection is established based on a workability criteria. Workability criteria is determined based on the ease of use of the model and the validity of its results.
Through literature review and in-depth interview survey result of model users, three hydrological water balance models are selected as alternative models for water availability estimation. The three models are the Mock, SCS-CN, and SWAT. A series of test-run is done using the three models to understand their characteristics and determine their levels of ease of use. From the test-runs of the hydrological models in estimating water availability potential in Upper Cisadane River Basin Area, the study found a close relation between the result of model prediction and field observation, where determining coefficient value R2 of the rational model, Mock model, SCS-CN model and SWAT model are found to be 0.66, 0.69, 0.62, and 0.68, respectively. The numbers suggest that the hydrological models are fit for water availability simulation.
This research then calculate water needs based on regional spatial planning activities of Bogor City in 2014. The calculation result of water carrying capacity of Bogor City in the years 2004-2008 indicated a condition of surplus.
Based on the test-runs of the three hydrological model, a research instrument (questionnaire) is developed by using variables and workability indicators of hydrological models. The variables of interest are hydrological model characteristics, while the hydrological models of interest are the rational, Mock, SCS-CN, and SWAT models. The indicators for model characteristics are a) the ease of data collection and preparation for model inputs, b) the ease of water balance components calculations, c) model reliability, d) the ease of obtaining model support devices, and e) human resource conditions. These instruments are conveyed to model users as respondents: a) members of staff in the Ministry of Public Works and Spatial Planning, b) water consultants, and c) water engineers and academics. The result of respondent survey on the indicator of the ease of data collection and preparation for model input, SWAT is scored as the easiest to use with ease of use value of 1.93. On water balance calculation, the SWAT is scored as the easiest to use with a value of 1.88. On water reliability indicator based on the ease of model calibration and validation, the Mock scored as the easiest with a value of 2.0. On the ease of obtaining support device, the respondents choose SWAT as the easiest.
The procedure to assess the usability of hydrological model in estimating water availability potential for regional spatial planning using five indicators of i) data availability, ii) water balance calculation capability, iii) model reliability, iv) ease of obtaining model support devices, and v) human resources readiness is already tested in Upper Cisadane river basin and underwent a survey of hydrological model users as respondents