Pada awal masuknya agama Kristen di Jepang tidak serta merta langsung dapat diterima dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat Jepang. Perbedaan paham antara penganut agama Budha dan Shinto (politheisme) dengan agama Kristen (monotheisme) menjadi pemicu banyak terjadinya gesekan-gesekan yang akhirnya menyebabkan kerusakan di beberapa daerah. Hal ini dilihat pemerintah
Bakufu bahwa agama Kristen adalah suatu ancaman bagi keberlangsungan kesatuan Jepang. Maka pemerintah
Bakufu yang saat itu dipimpin oleh Tokugawa mengeluarkan dekrit-dekrit yang melarang dan mengatur dengan ketat agama Kristen, salah satunya dekrit mengenai sistem
Danka pada tahun 1614 yang merupakan sistem keanggotaan kuil Budha dan bersifat memaksa masyarakat Jepang penganut Kristen untuk meninggalkan agama barunya dan berpindah kembali ke agama lamanya yaitu Budha demi dapat menjaga kuil Budha. Sistem
Danka ini jugalah yang pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan di Shimabara tahun 1637-1638.
At the beginning of the entry of Christianity in Japan, it was not directly accepted by the Japanese and the Government. The difference of thought and way of life between those who are Buddhist and Shinto (polytheism) with those who are Christian (monotheism) made some clash and destruction in some areas. These made the
Bakufu government see Christianity as a threat to the unity of the country. Then the
Bakufu government which at that time was led by Tokugawa issued some decrees to forbid and regulate the Christianity. One of the decrees was the
Danka system in early 1614 that ruled for Buddhist temple membership that force Japanese-Christian to convert back to Buddhist and for maintain Buddhist temple sakes. This
Danka system eventually became one of triggers of the Shimabara revolt 1637-1638.