Penelitian ini menjelaskan tentang faktor penentu terjadinya pergeseran dominasi elit lokal dari aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru NW dalam pilkada NTB pasca Orde Baru. Secara umum, pergeseran elit lokal pasca kejatuhan rezim Orde Baru terjadi akibat adanya kekosongan dominasi struktur pemerintah pusat dan kelembagaan partai politik di daerah yang memberi ruang aktor lokal untuk mendominasi melalui ikatan-ikatan etnis untuk menguasai struktur pemerintahan di daerah (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). Di sisi lain, kekosongan aktor pemerintah pusat mendorong adanya perubahan peran elit agama yang terlibat dalam politik (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). Fenomena pergeseran dominasi aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru di NTB menunjukkan hal yang berbeda. Kendati hilangnya dominasi rezim Orde Baru, akan tetapi dominasi dari aktor yang memiliki kedekatan pada struktur kekuasaan di pemeritah pusat mampu mendominasi kontestasi politik elektoral di daerah. Di sisi lain, ikatan etnis hanya menjadi media penguat perbedaan identitas kelompok yang bersaing, bukan sebagai penentu kemenangan aktor. Justru faktor utama yang menyebabkan adanya pergeseran dominasi elit di NTB yakni kapasitas dari aktor sentral dan institusi informal yang memiliki kedekatan dengan beragam aktor lain di daerah. Dengan kata lain, kehadiran aktor elit agama dalam aktivitas politik merupakan cerminan dari ketiadaan kompetitor dari luar kalangan elit agama yang memiliki kapasitas aktor dan kelembagaan informal yang kuat di daerah. Studi ini menggunakan teori struktur kekuasaan masyarakat (Knoke, 1990) dan teori kelembagaan informal (Helmke & Levitsky, 2002) sebagai alat analisis. Berdasarkan penggunaan teori tersebut, pergeseran elit lokal di NTB terjadi akibat adanya kapasitas aktor sentral yang dimiliki kelompok Tuan Guru NW yang mampu memanfaatkan struktur informal Nahdlatul Wathan melalui pilkada langsung pada tahun 2008, 2013 dan 2018. Di pihak lain, kelompok aristokrat Sasak hanya terfokus pada aktor tanpa menggunakan kelembagaan informal dalam membentuk integrasi dan koordinasi guna mencapai tujuan bersama. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan aktor aristokrat Sasak hanya mampu mendominasi dalam pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada tahun 1998 dan 2003, sedangkan kelompok Tuan Guru NW memiliki dominasi dalam pilkada langsung tahun 2008, 2013 dan 2018.
This study explains the determinants of the shift of local elite domination from Sasak aristocratic actors to the group of Tuan Guru NW in the West Nusa Tenggara Elections post New Order. In general, the shift in local elites after the fall of the New Order regime occurred due to the emptiness of the dominance of the central government and political parties in the regions which gave local actors space to dominate through ethnic ties to control the governance structures in the regions (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). On the other hand, the void of central government actors encourages a change in the role of religious elites involved in politics (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). The phenomenon of Sasak aristocratic actor domination shifting to the Tuan Guru group in West Nusa Tenggara shows a different matter. Although there was a loss of dominance of the New Order regime, the dominance of actors who had a closeness to the power structure at the Soeharto regime was able to dominate electoral political contestation in the regions. On the other hand, ethnic ties only serve as a medium to reinforce the differences in the identities of competing groups, not as a determinant of actor's victory. It is precisely the main factor that causes a shift in dominance, namely the capacity of the central actor who has closeness with various other actors in the area. In other words, the presence of religious elite actors in political activities is a reflection of the absence of competitors from outside the religious elite who have strong informal actor and institutional capacity in the regions. This study uses the theory of community power structures (Knoke, 1990) and informal institutional theory (Helmke & Levitsky, 2002) as analytical tools. Based on the use of this theory, the shift in local elites in West Nusa Tenggara occurred due to the capacity of the central actors owned by the Tuan Guru NW group who were able to utilize the informal structure of Nahdlatul Wathan through direct elections in 2008, 2013 and 2018. On the other hand, Sasak aristocratic groups were only focused on actors without using informal institutions in forming integration and coordination in order to achieve common goals. This study shows that the ability of Sasak aristocratic actors was only able to dominate in parliament elections in 1998 and 2003, while the Tuan Guru NW group had dominance in the direct elections in 2008, 2013 and 2018.