Ketertarikan pemerintah pada Kemitraan Pemerintah-Swasta dipicu oleh iming-iming
memperoleh fasilitas publik dengan beban yang lebih sedikit pada anggaran pemerintah.
Namun, kegagalan demi kegagalan PPP di berbagai belahan dunia memperingatkan
pemerintah bahwa PPP bukanlah sebuah silver bullet yang ampuh untuk semua
kebutuhan infrastruktur publik. Studi tentang kegagalan PPP biasanya berfokus pada
kegagalan setelah proyek telah beroperasi, padahal justru banyak proyek dibatalkan
sebelum kontrak ditandatangani. Studi kasus tunggal ini mengeksplorasi lambatnya
realisasi proyek PPP Waste to Energy (WTE) di Bandung Besar. Penelitian ini
menunjukkan bahwa masalah biaya transaksi, baik politik dan ekonomi, menjadi
hambatan utama dalam realisasi proyek. Empat masalah utama biaya transaksi dalam
realisasi proyek ini yaitu masalah pengetahuan, koordinasi, risiko dan ketidakpastian, dan
kepercayaan. Masalah pengetahuan terkait dengan kurangnya pengetahuan dan
penalaman PPP pemerintah yang mengarah pada desain proyek yang tidak lengkap dan
ketidakselarasan peraturan. Masalah koordinasi muncul karena banyak pemangku
kepentingan yang terlibat yang memerlukan struktur tata kelola yang kompleks, terutama
mengingat perubahan kepemimpinan politik. Masalah risiko dan ketidakpastian terkait
dengan aset yang sangat spesifik dari WTE. Terakhir, kepercayaan publik pada
pemerintah dan swasta rendah karena kurangnya transparansi dan dugaan konspirasi
dalam proses penawaran, sedangkan fasilitas berbahaya ini terletak di dekat perumahan.
The increasing government interest in Public-Private Partnerships is triggered by the lure
of obtaining public facilities with a less burden on the government budget. However,
many PPP failures in various parts of the world warn the government that PPP is not a
silver bullet solution for all public infrastructure needs. Studies on PPP failures usually
focus on failures after the project has been in operation, whereas many projects were
canceled before the contract is signed. This single case study explores the slow pace of
the PPP Waste to Energy WTE projects realization in Greater Bandung. It suggests that
transaction costs issues, both political and economic, play a significant role, including
knowledge, coordination, risk and uncertainty, and trust problems. The knowledge
problems are related to the governments lack of PPP knowledge that leads to the
incomplete project design and misalignment of regulations. The coordination problems
arise because many stakeholders involved that required a complex governance structure,
especially in the light of political leadership changes. The risk and uncertainty problems
are related to highly specific assets of WTE increases the risks of private investment
because the government support and guarantee to cover the assets and the waste quality
was inadequate and regulation changes regarding fees and tariffs would risk the return of
the investment. Lastly, public trust in government and private was low due to the lacked
transparency and alleged conspiracy in the bidding process, whereas this hazardous
facility is located near area residents.