Tesis ini meneliti kolokasi verba-nomina yang diproduksi oleh pemelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) tingkat madya dalam kelas bahasa Indonesia untuk diplomat. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan merekam percakapan yang dihasilkan oleh tujuh subjek penelitian. Untuk menganalisis data, peneliti mencatat semua kolokasi verba-nomina yang diproduksi dan mengelompokkannya menjadi dua jenis: kolokasi kongruen dan nonkongruen. Kemudian, semua kolokasi yang ditemukan dikategorikan ke dalam kolokasi berterima dan takberterima untuk menemukan sumber kesalahan pada produksi kolokasi. Penilaian jenis kolokasi ini dilakukan melalui kamus, korpora bahasa Indonesia, dan penilaian penutur jati. Hasil penelitian menemukan 214 (1,8%) kolokasi yang diproduksi oleh pemelajar, jauh lebih kecil dibandingkan penutur jati. Terkait kongruensi, ditemukan bahwa 89% kolokasi yang diproduksi adalah kolokasi kongruen. Meskipun demikian, ternyata pemelajar BIPA mengalami kesulitan dalam memproduksi kolokasi kongruen. Hal ini terjadi karena terdapat kongruensi parsial antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam bentuk diferensiasi dan
coalescing "penggabungan" (Gass dan Selinker, 2008). Terakhir, analisis pada kolokasi takberterima menemukan bahwa 35% kesalahan terjadi akibat terjemahan literal bahasa ibu, 27,5% dari pengabaian aturan bahasa, 22,5% dari aproksimasi, dan sisanya dihasilkan dari konsep yang salah serta
overgeneralization "penggunaan yang berlebihan". Tesis ini ditutup dengan beberapa implikasi pedagogis dari penelitian, korpus mini bahasa Indonesia untuk diplomat, serta contoh latihan pembelajaran kolokasi yang dapat menjadi panduan yang bermanfaat untuk diterapkan dalam kelas bahasa Indonesia untuk diplomat.
This paper examines verb-nouns collocations produced by intermediate-level Indonesian language for foreign speakers (BIPA) in Indonesian classes for diplomats. The data in this study were obtained by recording conversations produced by seven research subjects. To analyze the data, the researcher recorded all verb-noun collations produced and grouped them into two types: congruent and non-congruent collocations. Then, all collocations found were categorized as well-formed and errorneous collocations to find the source of the errors in collocation production. This type of collocation judgements is carried out through dictionaries, Indonesian corpora, as well as three native speakers judgement. The results found 214 (1.8%) collocations produced by learners, much smaller than native speakers. Regarding congruence, it was found that 89% of the collocations produced were congruent. However, it turns out that BIPA learners found difficulties in producing congruent collocation. This happens because there is a partial congruence between English and Indonesian in the form of differentiation and coalescing (Gass and Selinker, 2008). Finally, an analysis of errorneous collocations found that 35% of errors occurred as a result of L1 literal translation, 27.5% from ignorance of rules, 22.5% from approximations, and the rest resulted from false concept hypothesised and overgeneralization. This paper concludes with some pedagogical implications of this research, an Indonesian mini corpus for diplomats, and some examples of collocation learning exercises that can be applied in Indonesian language classes for diplomats.