Tesis ini membahas tentang tinjauan kelembagaan Bawaslu dengan kewenangan quasi judicial atau semi peradilan dalam menyelesaikan masalah hukum pemilu pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu pada pelaksanaan pemilu tahun 2019. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum kualitatif. Secara konstitusional, pembentukan Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu di Indonesia menginduk kepada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 serta dikuatkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010. Pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa penyelenggara pemilu bersifat mandiri. Dalam prakteknya, Bawaslu telah memenuhi karakteristik sebagai lembaga Negara yang mandiri atau independen berdasarkan dasar pembentukannya. Sebagai lembaga Negara yang mandiri, Bawaslu secara ketatanegaraan dimungkinkan untuk memiliki kewenangan dalamĀ menjalankan fungsi quasi judicial. Diketahui bahwa dalam perkembangan lembaga negara pasca amandemen UUD 1945, selain Bawaslu terdapat lembaga negara independen lainnya yang memiliki kewenangan dengan fungsi quasi judicial. Lembaga tersebut misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Informasi Publik (KIP). Sebagai lembaga Negara lapisan kedua, pembentukan Bawaslu, KPPU dan KIP berada diluar sistem peradilan di Indonesia. Namun pada dasarnya lembaga-lembaga Negara independen ini melakukan fungsi campuran dengan sifatnya yang penunjang terhadap lembaga Negara utama untuk menjalankan fungsi regulatif dan administratif termasuk fungsi quasi judicial dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsi kekuasaan quasi judicial yang dilakukan oleh Bawaslu secara umum telah memenuhi karakter kekuasaan quasi judicial yang dirumuskan oleh Jimly Asshiddqie.
This thesis discusses the institutional review of Bawaslu with quasi-judicial or semi-judicial authority in solving electoral legal problems in administrative violations and electoral process disputes in the 2019 elections. This research is a normative legal research using library studies and interviews in data collection, then data- the data obtained were analyzed using a qualitative legal approach. Constitutionally, the formation of Bawaslu as a unified function of the administration of elections in Indonesia is based on Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution and is strengthened based on the Decision of the Constitutional Court Number 11 / PUU-VIII / 2010. Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution confirms that the election organizer is independent. In practice, Bawaslu has fulfilled its characteristics as an independent or independent State institution based on the basis of its formation. As an independent state institution, Bawaslu in an administrative manner is possible to have the authority to carry out the quasi judicial function. It is known that in the development of state institutions after the amendment to the 1945 Constitution, in addition to Bawaslu there are other independent state institutions that have authority with quasi-judicial functions. Such institutions include the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) and the Public Information Commission (KIP). As the second layer state institution, the formation of Bawaslu, KPPU and KIP is outside the justice system in Indonesia. However, basically these independent state institutions perform a mixed function with their supporting nature to the main State institutions to carry out regulatory and administrative functions including quasi judicial functions in carrying out their duties and authorities. In carrying out the functions of quasi judicial power carried out by Bawaslu in general it has fulfilled the character of quasi judicial power formulated by Jimly Asshiddqie.